BAGIAN KE EMPAT BELAS
SUPLEMEN:
YAYASAN SYECH HAJI ABDUL HAMID KAMAL
Setelah
Dayah Raudhatul Ulum dibuka kembali tentu tidak serta merta dapat berfungsi seperti
dulu lagi. Ada banyak hal yang harus disiapkan. Ruang belajar, balai drah,
asrama, alat pengeras suara, jaringan listrik, pompa air, dan lain-lain,
walaupun dalam bentuk sederhana. Dukungan dana yang terbatas menyebabkan
pengembangan Dayah Raudhatul Ulum pada era ini agak berjalan pelan.Untuk
menguatkan landasan hukum dan yuridis kelembagaan, telah dibentuk Yayasan yang menaungi Dayah dan berbagai kegiatan
lain yang mungkin saja dilakukan dikemudian hari untuk menunjang kelangsungan
dayah. Yayasan itu diberi nama YAYASAN
ABUYA SYECH HAJI ABDUL HAMID KAMAL (AHKAM). Yayasan tersebut dibentuk
melalui Notaris Azhar SH di Jl. Panglima Polem Banda Aceh dengan Nomor Akte
Yayasan (Akte
Notaris Nomor 47, Tanggal 26 Nopember 2010, dan telah disahkan oleh Kemeterian
Hukuum dan Hak Asasi Manusia (KemenKumHam) Republik Indonesia Nomor: AHU –
4895.AH.01.04.2011).
Melalui yayasan tersebut membuka peluang untuk menangani dayah secara lebih
baik.
Saat
ini dayah Raudhatul ulum telah membuka tiga jenis pendidikan yaitu: Pertama, pendidikan pola salafiah dengan
menggunakan kurikulum dayah di Aceh yaitu dengan mempelajari kitab kuning.
Pendidikan tersebut dipimpin oleh Tgk. Jalaluddin. Kedua, Pendidikan Pengajaran Alquran yang mengacu kepada pola
pendidikan Taman Pendidikan Alquran (TPA) serta memperkenalkan hukum-hukum
dasar fiqih dan tauhid. Pendidikan tersebut dipimpin oleh Tgk. Wardina
Haridhy. Ketiga, pendidikan dan
pengajian untuk masyarakat melalui pembahasan kitab-kitab berbahasa arab
jawo. Pendidikan tersebut dipimpin oleh Tgk Bukhari. Semua tingkat pendidikan
tersebut dibantu oleh beberapa guru dan masing-masing guru memimpin kelas atau
Drah.
Direncanakan
akan dibuka pula kelompok ibadah Suluk dan Tawajuh. Program ini memerlukan penyiapan
asrama yang cukup karena seluruh peserta selama waktu tertentu akan tinggal
di asrama dan mengikuti jadwal ibadah secara khusyuk. Pengurus dayah Raudhatul
Ulum harus menyatakan disini bahwa keinginan masyarakat untuk ikut kembali
dalam pola ibadah Suluk dan Tawajuh ini sangat besar, tetapi karena setelah
asrama rusak atau dirusak?, pihak pimpinan dan pengurus belum mampu untuk membangun
kembali. Ada banyak program dayah yang masih tertunda karena keterbatas dana.
Rehab berat asrama santri yang telah rusak, rehab berat bahkan membangun
kembali mesjid dayah, pembangunan asrama putri, pembangunan asrama suluk,
pembangunan ruang belajar, dan pengadaan berbagai sarana pendukung
lainnya yang dulu telah ada sedangkan kini telah hilang.
Uluran Tangan
Harus
dinyatakan pula bahwa seluruh guru yang mengajar di Dayah Raudhatul Ulum tidak
mendapat gaji dari dayah karena disebabkan keterbatasan dana yang dimilki
lembaga ini. Semua guru mengajar karena Allah semata dan dengan tujuan ibadah
dan semata-mata untuk mencerdaskan anak didik dalam mengenal dan mengamalkan
agamanya (Islam) serta menguatkan dan mengajarkan masyarakat yang saat ini
mulai longgar dengan agamanya menjadi taat kembali.
Keterbatasan
yang dimiliki oleh Dayah Raudhatul Ulum sangat dirasakan. Selama ini
berjalannya pendidikan di Dayah Raudhatul ulum karena bantuan masyarakat.
Tentu saja, setelah terjadi hempasan dahsyat karena konflik dan hentakan gempa
tsunami yang menyebabkan banyak bangunan tersisa retak-retak dan tidak mungkin
ditempati lagi, untuk membangun kembali tentu saja tidak mampu dipikul oleh
pengurus dayah dan masyarakat sekitarnya yang kehidupannya sangat terbatas.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada kaum muslimin/muslimat dan berbagai
pihak yang memiliki kemudahan untuk memberikan bantuan sehingga Dayah
Raudhatul Ulum dapat dibangun kembali berbagai fasilitas yang dibutuhkan
sehingga sistem pembelajaran di dayah ini dapat berlangsung kembali dengan
baik. **
Dayah Raudhatul Ulum
Sabar dari Sakit itu Pengampunan
Abuya sejak awal 1980 kondisi kesehatanya sudah menurun. Pada bulan
Mei beliau berubat ke Banda Aceh dan dirawat
di RSU Zainul Abidin lebih dari satu
minggu. Setelah merasa sehat beliau kembali ke Blangpidie melalui perjalanan
darat yang melelahkan. Tak lama kemudian abuya sakit kembali. Dan karena
sulitnya transportasi baik ke Banda Aceh maupun ke Medan saat itu, maka
perawatan beliau dilakukan oleh dokter puskemas Blangpidie dan dirawat di rumah.
Saat beliau sakit banyak ditemani oleh teman-teman dan sahabat beliau,
murid dan berbagai pihak lainnya. Mereka berkunjung dan menemani beliau baik di
dalam kamar beliau dirawat maupun di luar. Dokter menganjurkan ke dalam
kamar abu tidak boleh banyak ada orang. Jika ada yang menemani cukup satu
atau dua orang saja. Biarkan abu beristirahat jangan banyak diganggu, karena
menurut dokter kondisi kesehatan beliau telah menurun.
Saat adanya anjuran dokter itu pengunjung yang membezuk abuya
dibatasi. Tidak semua pengunjung diizinkan masuk. Tentu keadaan itu
menimbulkan masalah pula yang dihadapi keluarga. Banyak orang merasa tidak
puas jika tidak langsung bertemu abuya, tetapi keadaan itu sangat dilarang
oleh dokter yang merawat beliau.
Hanya beberapa orang saja yang secara bebas masuk dan duduk disamping
ranjang beliau di kamar perawatan di rumah. Yang biasa masuk itu H. Ramli
Jalan Manyang, Keuchik Hasan Keudee Siblah, Tgk Abdullah (Tgk. Syeklah) iman
syik Mesjid Jamik Baitul Adhiem, dan Let T. B. Mahmud serta beberapa orang
lain yang biasa dekat dengan beliau. Mereka sering datang dan duduk
berlama-lama dengan abuya, dan abuya melayani
ngobrol banyak hal dengan mereka.
Suatu hari di bulan Ramadhan terlihat abuya menangis. Menangisnya
abuya disebabkan oleh dua hal: Pertama, menurut dokter yang merawat abuya,
beliau dilarang berpuasa, dan seluruh orang yang ada disitu menganjurkan
beliau untuk tidak berpuasa. Tentang masalah ini abuya berucap: “saat sekarang
nafsu makan memang tidak ada, jika tidak berpuasapun makan juga tidak sanggup,
lebih baik puasa saja” . Karena itu selama ramadhan tetap berpuasa sampai
syawwal dan sekaligus dengan puasa sunat syawwal. Kedua, beliau merasakan bahwa
baru sekarang taraweh tidak bisa dijalankan berjamaah. Tahun lalu taraweh
dijalankan berjamaah dan abuya bertindak sebagai imam. Masalah tidak dapat
bertaraweh berjamaah inilah yang menyebabkan beliau menangis.
Setelah shalat taraweh di masjid, beberapa orang teman beliau singgah
untuk bezuk abuya. Suatu malam (mungkin
pada sepuluh hari terakhir) abuya berbicara banyak dengan beberapa yang hadir.
Sepertinya abuya menunjukkan perubahan kesehatan dan muncul kegembiraan yang
berlebih. Abuya sambil duduk bersandar beliau berceritera tentang
penderitaan Nabi Aiyub yang dicoba Allah dengan sakit. Dan, cobaan sakit itu
merupakan salah satu cara yang diberi Allah untuk pengampunan dausa. “Nyo pak Keushiek Hasan (salah seorang yang
hadir saat itu), saket yang geubri lee Allah merupakan upaya penghapusan dausa.
Mungken peu na salah yang gohlom ampon dosa dengan ibadah, geu peu ampon
melalui saket” (ini pak Keuchiek Hasan, sakit yang diberikan Allah
merupakan upaya penghapusan dosa. Mungkin kita masih ada salah yang belum
diampunkan dosanya melalui ibadah diampunkan melalui sakit), kata beliau.
“Mandum penyaket trouk dari Allah. Ureung barou saket meunyo Allah izinkan,
meunyo hana izin Allah hana sapeu pih yang bisa terjadi didalam donya” (seluruh
penyakit datangnya dari Allah. Setiap orang baru sakit jika Allah
mengizinkan, jika Allah tidak izinkan tidak satupun bisa terjadi dalam dunia
ini), kata beliau seraya menambahkan, “Nyo saket yang jino lon alami kon karena but ureung, kon kareuna
dipeukeunong, kon karena sihe, kon karena khianat ureung, tapi mandumnyo
geubri lee Allah dan na maksud Allah geubri penyaket nyo” (sakit saya ini yang
sedang saya alami bukan karena dibuat (dikirim) oleh seseorang, bukan karena
sihir, bukan pula karena ada orang khianat, tetapi semua ini karena diberikan
oleh Allah), kata abuya saat itu. Jangan kita sukaberburuk sangka terhadap orang
lain sehingga bertambah dosa saja. Penegasan itu disampaikan abuya karena saat
itu sudah mulai beredar anggapan bahwa abu saket karena diguna-gunai,
dipeukeunong, dipeusihe, dipeuburong tujoh. Ada pula orang mengatakan abuya
sudah dipeutinggom dan banyak anggapan
lainnya. Untuk menepis semua rumor itu abuya menyampaikan pesannya kepada
beberapa orang sahabat beliau yang hadir pada malam itu. Pada malam itu ada
juga yang membantah bahwa abu dipeukeunong, tetapi dengan keras beliau
mengatakan itu tidak ada. “Saket yang abu derita itu memang sudah sampai
waktunya saket. Jangan kita berprasangka yang bukan-bukan” kata beliau
berkali-kali. “Melalui saket geupeu ampon dausa. Bek tanyo hana saba ngon
peunyaket yang geubri” (melalui sakit Allah ampunkan dosa. Jangan kita tidak
sabar dengan adanya penyakit yang Allah berikan), kata beliau berkali-kali.
Allahuyarham.. (**)
Komentar
Posting Komentar