BAHAGIAN Ke Tiga 

Silman Haridhy

BIOGRAFI
ABUYA SYECH HAJI ABDUL HAMID KAMAL
“Seorang Ulama Bersifat Diplomat”

c
                                            Unit PerpustakaanYayasan AHKAM
                                                  DAYAH RAUDHATUL ULUM



I.      KEADAAN NANGGROU
1.       Keadaan Nanggrou
Pada Akhir abad ke 18 sampai awal abad 19 di ke­ra­jaan Aceh Darussalam terjadi pergolakan yang sa­ngat panjang. Padaakhir abad 18, Belanda sudah me­ngu­asai pantai barat dan selatan aceh. Marsose (ser­da­du) Belanda sudah ber­do­mislili di be­be­ra­pa tempat di pantai barat dan selatan aceh. Di Blangpidie missal­nya, telah dibangun tangsie atau saat itu sering dise­but dengan bivak yang diisi oleh serda­du (marsose) Be­landa. Karena itu, pada tanggal  13 Juni 1899, se­o­rang controleur Belanda di Tapak Tuan mengirim surat ke Kutaraja dan Batavia menyebutkan bahwa ada dae­rah sepanjang pantai barat dan selatan aceh, daerah itu tergolong makmur menghasilkan banyak rempah-rem­­pah yang ber­mu­tu baik, menghasilkan bahan pa­ngan lebih dari cukup. Daerah itu terletak di bahagian ba­rat daya aceh dengan pelabuhan singgah dilakukan di teluk Surien dan di Susoh. Daerah yang makmur itu te­lah dikuasai oleh Belan­da.
Walaupun dalam laporan controleur Belanda me­nye­­but­kan bahwa daerah di barat daya aceh telah dikuasai, te­ta­pi pergolakan secara sporadic terus ter­jadi. Sejak Be­landa masuk ke pantai barat selatan aceh, T. Ben Mahmud Ulee Balang wilayah Blangpidie waktu itu tidak mau beker­ja­sama dengan Belanda. Be­liau bukan saja tidak mau bekerja sama tetapi juga me­lakukan perlawan. Berbagai peperangan terjadi, se­hingga beliau menyingkir dan be­gerilya di hutan-hu­tan  sepanjang bukit barisan mulai da­ri hutan Blang­pi­die sampai ke Bakongan dan bahkan ada keterangan wi­layah gerilya itu sampai ke perbatasan Su­ma­tera U­tara.
Pada tahun 1905, T. Ben Mahmud dan pasukannya me­­nyu­­sun strategi penyergapan pasukan Belanda yang sering ber­kunjung dari Tapak Tuan atau Blang­pi­die ke beberapa daerah untuk melakukan patroli. Saat pa­sukan Belanda berada di Meukek, pasukan T. Ben Mah­mud  yang saat itu dipimpin oleh T. Idris me­la­ku­kan penyerangan, menye­bab­kan Belanda kucar kacir dan ada yang meninggal. Belanda marah dan mela­ku­kan sweeping secara ketat, sehingga T. Idris dapat di­tangkap, ke­mudian dibuang ke Ternate, Maluku.
Pasukan T. Ben Mahmud tidak patah semangat de­ngan tertangkapnya T. Idris, malah melakukan penye­ra­ngan se­ca­ra sporadic dan bergerilya di berbagai tem­pat. Karena gang­guan keamanan yang terjadi te­rus menerus yang digerakkan oleh T. Ben Mahmud, ma­ka Belanda me­ng­in­ten­sifkan pencarian terhadap be­liau. Begitulah, beberapa la­ma kemudian T. Ben Mah­mud dapat ditangkap, ke­mu­di­an dibawa ke Ku­ta­ra­ja dan kemudian diasingkan ke Ba­ta­via. Karena di­ang­gap dan dicurigai masih berpengaruh, ma­ka se­lan­jutnya dibuang ke  Maluku.
Semula Belanda menganggap dengan ditangkap­nya T. Ben Mahmud dan T. Idris perjuangan dari pihak Ulee Ba­lang dapat dipatahkan dan keadaan dapat di­ku­asai. Hal ini di­tandai dengan telah terjalin ker­ja­sa­ma antara ulee ba­lang pengganti beliau dengan Be­lan­da. Tetapi nyatanya, per­juangan yang digerakkan oleh ulee balang sudah redup, mun­cul pula gerakan  yang lebih dahsyad yang digerakkan oleh “kelompok teung­ku”. Gerakan perjuangan dikuma­dang­kan itu memiliki semboyan “hudeep saree matee sya­hid”. Gerakan yang dilakukan oleh kelompok teungku ini se­mula be­ru­pa gerakan senyap di bawah tanah. Orang Aceh me­nye­butnya “gerakan apui lam seukeuem”. Gera­kan di­am-diam yang mengganggu pergerakan Be­lan­da itu sa­ngat mengkhawatirkan keselamatan, dan perge­ra­kan inilah yang sa­ngat ditakuti oleh Belanda. Gerakan senyap inilah yang dipimpin oleh Teungku Peukan.
Siapa Teungku Peukan?. Teungku Peukan adalah seo­­­rang guru mengaji yang sangat dihormati di kam­pung­nya, dan ia terlahir dalam keluarga teungku. A­yah­nya  bernama Teungku  Padang Geunteng dan ibu­nya bernama Zulaikha. Teungku Peukan lahir di salah satu gampong di Manggeng (mungkin sekarang Lem­bah Sabil) pada tahun 1886. Ia me­mang lahir dan di­be­sarkan pada saat Aceh dalam pergo­la­kan melawan Belanda. Aceh mulai berperang melawan Belanda pa­da tanggal 18 April 1873. Mulai saat itu Aceh me­nya­ta­kan perang dan tidak pernah menyerah. Penye­bab Aceh berperang karena Belanda melakukan perjanjian se­pihak dengan Inggris yang menghasilkan “Traktat Suma­te­ra” yaitu yang menyatakan Belanda menguasai Su­ma­te­ra sedangkan Inggris menguasai semenajung Ma­laya. Se­be­lumnya kerajaan Aceh telah mengikat perjanjian dengan Inggris yang disebut dengan “Trak­tat London” yang me­nya­takan Aceh secara merdeka dan bebas melakukan per­da­gangan dengan berbagai negara di dunia terutama de­ngan Turki, Inggris, Ero­pah dan berbagai negara lainnya. Karena Belanda me­maksa keinginannya untuk menguasai negeri, maka Aceh melawan dan menyatakan perang yang tercatat dalam sejarah sebuah peperangan yang sangat pan­jang. Dalam keadaan Aceh seperti itulah Teukue Peu­kan lahir.
Setelah T. Idris dan T. Ben Mahmud tertangkap dan di­bu­ang, gerakan rakyat mulai meredup. Seiring de­ngan itu, Belanda sudah mulai bebas memasuki ber­bagai wilayah di daerah Selatan Aceh. Marsose dari Tapak Tuan sering da­tang ke Blangpidie, demikian juga sebaliknya. Mereka da­tang untuk melakukan pat­roli.
Tentara Belanda yang makin  bebas menjelajahi wi­la­yah menyesakkan dada para teungku. Mereka menyusun strategi untuk melakukan penyerangan. Se­ca­ra senyap (diam-diam) berbagai pihak yang dipim­pin oleh Teungku Peukan menyusun kekuatan dengan menyampaikan sem­bo­yan “hudeep saree matee sya­hid”. Berbagai kelompok dalam masyarakat terdiri da­ri kelompok silek, kelompok da­bouh, pemuda gam­poung dan rakyat biasa mulai mengasahkan parang, pe­dang dan recong bersiap-siap kapan diperintahkan langsung menyerang. Begitulah.
Pada hari Kamis, informasi sudah disampaikan bah­wa pasukan sudah bersiap untuk melakukan pe­nyerangan. Teungku Peukan telah menginstruksikan  bah­­wa semua pa­­sukan menggunakan pakaian hitam dengan celana di a­tas mata kaki atau lebih singkat lagi untuk memperlincah ge­ra­kan saat menyerang. Setiap panglima memakai “selem­pang kuning” yang diikat da­ri bahu sampai ke pinggang, se­dang­kan anggota pa­su­kan memakai tali lilitan kain kuning di pinggang. Ini hanya memberi tanda saja antara panglima dan ang­go­ta pasukan.
Sebelum maghrib pasukan sudah mulai berkumpul di “Balai Gadeng”, sebuah balai yang digunakan untuk shalat berjamaah dan juga tempat dilaksanakan pe­nga­jian agama oleh Teungku Peukan. Setelah shalat maghrib, Teungku Peu­kan menyampaikan beberapa ins­truksi tentang strategi penyerangan dengan mem­ba­gi beberapa kelompok yang dipimpin oleh seorang panglima. Teungku Peukan juga menyatakan sasaran penyerangan malam itu adalah tangsi (bivak) Belanda di Blangpidie. Jarak antara Manggeng dan Blangpidie sekitar 20 Km.
Pada malam Jum’at 11 September 1926, setelah Isya, Teungku Peukan melaksanakan zikir bersama de­ngan se­lu­ruh pasukannya. Tujuan zikir itu adalah un­tuk mem­ber­sih­kan hati dari ria, takabbur dan tsum’a ser­ta perjuangan yang dilakukan itu semata-mata ka­re­na Allah swt. Zikir ju­ga menambah semangat pa­su­kan sehingga mereka merasa tidak sabar lagi untuk langsung berperang. Alat perang me­re­ka memang se­der­hana, hanya terdiri dari rencong, pedang, parang dan tombak. Hanya itu. Senjata api yang saat itu di­se­but “beudee” mereka tidak punya. Dan, Be­lan­da pu­nya senjata Beudee itu.
Sebelum tengah malam, Teungku Peukan meme­rin­­tah­kan pasukannya bergerak menuju Blangpidie, be­liau juga me­merintahkan anaknya bernama Thalhah untuk me­me­gang bendera komando. Sepanjang jalan pasukan larut da­lam zikir yang dapat memacu se­ma­ngat juang.
Pada sepertiga akhir malam, pasukan Teuku Peu­kan su­dah tiba di Balai Pengajian Teungku Di Lhoong di Lam Sijieum (sekarang Geulumpang Payong). Pa­su­kan ber­is­ti­ra­hat, menyusun dan mempertegas stra­tegis penyerangan. Sekitar pukul empat pagi pasukan bergerak untuk mela­ku­kan penyerangan dan marsose di bivak sedang nyenyak da­lam tidurnya. Pasukan Teu­ku Peukan masuk ke asrama me­lakukan penyerangan menyebabkan porak-poranda pa­ra marsose saat itu. Di kabarkan banyak serdadu Belanda yang mati akibat penyerangan itu. Selesai penyerangan pa­su­kan Teung­ku Peukan mundur ke Mesjid Jamik yang le­tak­nya ti­dak jauh dari bivak Belanda itu.
Saat berkumpul di masjid (masjid saat itu meru­pa­kan bangunan panggung terbuat dari kayu dan hanya diguna­kan untuk shalat saja). Selanjutnya waktu shu­buh­pun  ti­ba, maka Teungku Peukan mengumandang­kan azan dan me­laksanakan shalat shubuh berjamaah.
Sementara itu, serdadu Belanda di bivak yang se­la­mat segera mengambil senjata dan menyusun barisan untuk me­lakukan penyerangan balasan. Para serdadu Belanda sangat tahu bahwa pasukan Teungku Peukan berada di masjid dan melaksanakan shalat. Saat itulah Belanda me­nye­rang, sehingga banyak pula pasukan Teungku Peukan yang syahid termasuk Teungku Peu­kan sendiri syahid. Me­li­hat suasana yang kacau itu dan Teungku Peukan sudah syahid, ber­ge­rak pula anak Teungku Peukan bernama Mu­ham­mad Kasim menghimpun kekuatan pasukan untuk me­la­kukan se­ra­ngan pembalasan. Dalam perlawanan itu ba­nyak pu­la pasukannya syahid termasuk Muhammad Kasim. Se­luruh korban syahid dalam penyerangan itu diku­bur­kan di sekitar masjid jamik termasuk Teungku Peu­kan. Saat ini ku­bur beliau diberi tanda yang jelas dan di­kunjungi pada setiap peringatan hari pahlawan.
Setelah suasana pagi dan telah terang pasukan ter­si­sa menyingkir ke Lam Sijieum, dan selanjutnya kem­ba­li ke Manggeng.
Setelah Syahidnya Teungku Peukan perjuangan di­lan­jut­kan oleh Pang Panuek, Sidi Rajab, Waki Ali, Nyak Walad dan Umar. Penyerangan-penyerangan secara spo­radic dilakukan sampai beberapa waktu kemudian.
Belanda memperketat melakukan sweeping untuk  men­­cari pejuang yang tersisa. Pada bulan Maret 1927 sisa pa­sukan Teungku Peukan menyerang marsose Be­lan­da yang sedang melakukan patroli. Serangan ini me­­nye­bab­kan Belanda mengambil tindakan dengan member­hen­ti­kan Ulee balang Manggeng (T. Nana) dan menggantinya dengan Ulee Balang lain. Bukan ha­nya itu, tetapi juga menangkap beberapa panglima perjuangan, diantaranya Waki Ali dan Nyak Walad di­buang ke Jawa (Betawi), sedangkan Umar dibuang ke Makasar.
Begitulah keadaan nangrou saat itu. Dalam sua­sa­na seperti itulah, pada tahun 1928 Abuya Syech Hajji Abdul Hamid Kamal lahir.
2.    Bayi itupun lahir
Hari itu, Rabu 20 Hari Bulan Dzulhijjah1349 H atau ber­­te­patan de­ngan bulan April 1928 M, mulai di­ni hari ru­mah H. Muhammad Yusuf di Arun Tunggai Meu­kek Aceh Se­la­tan terasa begitu sibuk. Nyak wa Aminah  pagi hari itu se­lepas su­buh bergegas keluar da­ri rumah me­nuju ke rumah Mak Blein Saudahyang se­ring juga dipanggil Nyak­wa Manehdukun beranak didesa tersebut untuk memberi khabar bah­wa Nyak Puan saat itu telah menunjukkan tanda-tanda akan me­lahir­kan. Nyak Maneh memang se­orang dukun beranak (bidan kampong yang biasa membantu orang melahirkan) saat itu dan sudah sangat umum di­pang­gil orang untuk membantu ke­la­hiran bayi. Mak blein ini (panggilan sebagian orang Aceh untuk dukun me­lahirkan) memang sudah tahu dan mem­per­kirakan bah­wa bayi Nyak Puan dalam beberapa hari ini akan lahir, karena baru ke­ma­rinmak blein datang untuk me­lihat kan­dungan Nyak Puan. Ia telah mem­per­ki­ra­kan bahwa bayi ter­sebut akan lahir tidak lama lagi, ma­kanya saat Nyak Wa Aminah datang memberi tahu tentang Nyak Puan akan me­lahirkan, makblien segera menyiapkan peralatannya, dan bergegas da­tang.
Pagi itu sekitar pukul  09.00 lebih, bayi laki-laki  ber­­ku­­lit putih itu lahir dengan selamat, tanpa kurang suatu apa­pun. Tangisannya keras dan gerakannya lin­cah menandakan bayi itu lahir sehat.
Tgk. SyechKamaluddin suami Nyak Puan terli­hat sa­ngat gem­bira dan bersujud syukur karena anak laki-laki be­liau telah lahir de­ngan selamat.Bu­kan ha­nya Tgk Syech Ka­ma­­luddin yang bersyukur, te­­ta­pi se­lu­ruh isi rumah me­man­jatkan syukur keha­dhirat Tu­han Rab­bal Alamin, juga me­ngu­man­dangkan azan ser­ta iqamah ditelinga bayi danselan­jut­nya oleh bebe­ra­pa yang hadir saat itu mengu­cap­kan sha­la­wat nabi.
Seminggu kemudian, rumah H. Muhammad Yu­suf  ke­da­tang­an banyak tamu, karena pemilik rumah me­nga­da­kan hajatan kenduri Aqiqah ter­hadap bayi yang baru lahir itu. Pelaksanaan Aqiqah merupakan pe­rintah Rasulullah SAW. JIka seseorang telah me­mi­li­ki bayi, maka tujuh hari kemudian disunnahkan untuk melaksanakan Aqiqah yaitu menyembelih kambing, mencukur rambut bayi dan ber­se­de­kah seberat ram­but bayi setelah ditimbang adan dise­ta­ra­kan dengan emas. Jika bayi yang lahir laki-laki maka siayah me­ng­aqiqahkan dua ekor  kambing jantan yang telah men­cu­kupi umur dua tahun, dan jika  perempuan  kam­bing aqiqah cukup seekor saja. Hari itu adalah hari Selasa, 26 Dzul­hijjah Tgk. Syech Kamaluddin mem­beri nama bayi itu dengan nama Abdul Hamid. Mulai hari itu nama bayi dikenal dengan Abdul Hamid dan nama itu melekat sampai dewasa.

                              Abuya Syech Haji Abdul Hamid Kamal (1952)



                                                                 Abuya Syech H. Abdul Hamid Kamal foto doc. 1978


                                                          Abuya Syech Haji Abdul Hamid Kamal (1978).




Komentar

Postingan populer dari blog ini