BAHAGIAN KE DUA.
Silman Haridhy
BIOGRAFI
ABUYA SYECH HAJI ABDUL HAMID KAMAL
“Seorang
Ulama Bersifat Diplomat”
Unit PerpustakaanYayasan AHKAM
DAYAH RAUDHATUL ULUM
PENGANTAR
Masa akhir
tahun 20-an keadaan gampong-gampong di Aceh masih sangat tergolong udik.
Sarana jalan hanya dalam bentuk pematang sawah. Jika ada jalan hanya baru
dalam bentuk jalan setapak, becek, licin dan di waktu malam tentu saja gelap
gulita. Keadaan masyarakat pada waktu itu juga masih sangat sederhana,
tidak banyak yang diminta, apalagi saat itu masih dalam masa penjajahan.
Hanya sedikit saja orang yang tergolong mampu, dan yang mampu itu umumnya
terdiri dari pemilik lahan kebun atau sawah ataupun pedagang. Banyak
pedagang menjual barang-barangnya ke daerah lain dengan menggunakan perahu
atau tongkang. Itulah sekelumit gambaran kehidupan masyarakat pedesaan saat
itu, terutama masyarakat yang tinggal di daerah barat dan selatan Aceh. Dalam
keadaan seperti itulah Abdul Hamid dilahirkan. Ia lahir di desa Aron Tunggai
Meukek pada tahun 1928, besar dan bersekolah di daerah itu dan selanjutnya
orang tua beliau hijrah ke Manggeng dan akhirnya menetap di desa Bineh
Krueng Tangan-Tangan. Kemudian setelah belajar di Pesantren Bustanul Huda
Blangpidie dan sudah diangap alim, beliau membuka dayah Mimbaryah di
Krueng Batee dan selanjutnya membuka pula pengembangan dayah Raudhatul
Ulum di Desa Alue Pisang Krueng Batee. Walaupun aktivitas beliau banyak di
Krueng Batee, tetapi beliau bertempat
tinggal di Blangpidie. Karena itu, dalam kesehariannya beliau aktif dalam
berbagai pembinaan umat baik di Blangpidie maupun juga di Krueng Batee. Sepertinya
dalam hidup beliau hampir tidak punya waktu senggang. Kegiatan beliau setiap hari sampai larut malam. Begitulah
rutinitas yang dilalui beliau sepanjang waktu.
Sebagaimana
banyak diungkapkan sejarah, bahwa penduduk di wilayah pantai barat dan
selatan aceh sebahagian besar pendatang.
Secara pasti dan detail, asal muasal penduduk secara rinci belum ada
data yang pasti. Sampai sekarang data tentang asal usul penduduk di
daerah itu hanya mengandalkan sumber lisan dan tulisan yang jumlahnya sangat
terbatas. Tetapi khusus untuk abuya Haji Abdul Hamid Kamal ditilik dari abu
beliau, abu Syech Kamaluddin berasal dari gampong Lam Asan, Kuta Baro, Aceh Besar, karena nenek
beliau (ayah dari Abu Syech Kamaluddin) berasal dari gampong Lam Asan Lam
Ateuk Kuta Baro Aceh Besar. Beliau pada saat muda merantau dan singgah di Sawang
Ba’u dan selanjutnya berkeluarga disitu. Adapun nenek dari Abu Syech Kamaluddin
bernama Syech Abdul Karim merupakan pendatang
dari Arab yang digelar dengan nama Syech Arab. Beliau ada petunjuk berasal
dari Hadharal Maut, danada pula data yang menunjukkan berasal dari semenanjung
zazirah Arabia. Sedangkan ibu beliau berasal dari Aron Tunggai Meukek
yang secara berketurunan sudah lama menetap di daerah itu sehingga asal muasalnya
sulit ditelusuri. Karena itu, secara profil phisik Abu Syech Kamaluddin
cenderung mirip seperti orang arab, kulit putih bersih, tinggi besar dan rambut
sedikit agak kepirang-pirangan.
Kakek
Abdul Hamid meninggalkan kampung halamannya di Lam Asan setelah belajar
mondok pada beberapa dayah di Aceh. Karena berkeinginan merantau, beliau
menggunakan tongkang mengaru-ngi pantai barat Aceh dan berlabuh di Sawang
Ba’u, sebuah gampong di tepi pantai di kawasan Aceh Selatan. Sampai hari
ini, keluarga besar beliau di desa Lam Asan danLam Ateuk masih dapat ditelusuri
dan masih tersambung hubungan silaturrahmi. Itulah sekelumit asal muasal
abuya Haji Abdul Hamid Kamal yang dapat diungkapkan saat ini.
Abuya Haji
Abdul Hamid Kamal sejak dari kecil telah memiliki sifat kepemimpinan. “Ia
sejak kecil sudah menjadi pemimpin dan di-angkat ketua oleh kawan-kawannya”,
tutur Nyakwa Safiah salah seorang teman sepermainannya sejak kecil. Abuya
ini memang memiliki sifat melindungi dan suka membantu. Banyak kesulitan yang
dihadapi temannya tanpa diminta
dengan ringan tangan membantunya. Diceritakan oleh Abu Kama (panggilan yang
sering disapa untuk Abu Syech Kalamuddin). Abu Kama pergi menjala ikan di KruengMeukek
pada malam hari. Beliau mengajak Abdul Hamid dan adiknya Abdul Majid. Saat
menjala ikan jaring tersangkut didasar sungai. Abu Kama suruh Abdul Majid
turun ke sungai untuk melepas jala yang sangkut, tapi Abdul Majid merasa keberatan,
boleh jadi karena malam dan dingin. Melihat keadaan itu, sang Abang, Abdul
Hamid tanpa disuruh oleh Abu beliau langsung turun untuk menyelam dan melepaskan
jala yang tersangkut itu. “Itulah sifat Abdul Hamid dari kecil senang
membantu”, kata Abu Kama suatu ketika.
Sifat suka
membantu dilakoni Abuya ini sampai beliau wafat. Malah bukan hanya itu,
beliau suka menganggap semua orang itu baik dan dianggap sama seperti
beliau. Karena itu, banyak orang minta se-suatu jika beliau punya tanpa tanya
ini dan itu, langsung diberikan. Tentu saja, diantara orang yang meminta karena
memang butuh, adapula yang memanfaatkan situasi. Dia melihat abu tidak banyak
seleksi dalam membantu seperti itu, ada pulaorang yang berkhianat dan sengaja memanfaatkan
keadaan. Diantara banyak orang yang
jujur, ada pula orang yang “meukuwet
bak akhe” (khianat dan pada ujungnya ada pengingkaran). Semula
nampaknya jujur, tetapi beberapa waktu kemudian mulai bertingkah. Abuya
biasanya jika sudah membatu (jika itu kecil) tidak diingat lagi dan juga tidak
pernah disebut. Banyak pula dijumpai, orang yang mengembalikan pinjamannya
tanpa teringat lagi oleh abuya. Mereka
datang dan membayarnya kembali pinjaman atau mengembalikan barang yang
dipinjam.
Abuya
sejak muda disamping suka berdagang juga suka beternak. Selagi belajar di
Bustanul Huda Blangpidie,Abdul Hamid muda memelihara kerbau. Pada saat
beliau telah mengajar di Krueng Batee, ia memiliki lebih dari 40 ekor kerbau.
Datang orang untuk minta pelihara kerbau itu dalam bentuk “mawah” atau bagi hasil dan sekaligus
dapat digunakan untuk membajak sawah. Sehingga kerbau beliau yang jumlahnya
relative banyak itu dibagikan untuk dimawahkan kepada orang yang meminta.
Nyatanya, diantara banyak orang yang jujur, dijumpai pula tidak sedikit yang
mempunyai sifat kurang baik, berkhianat atas kepercayaan. Banyak kerbau
beliau disembelih atau dijual tanpa diketahui dan tanpa izin beliau. Anehnya,
perlakuan khianat dari orang yang semula diberi kepercayaan tidak diupayakan
tindakan hukum walaupun penipuan telah dilakukan secara nyata. Biasanya komentar
beliau enteng saja, “harta Allah ka
geucok teuman, meunyo jih khianat dipeutanggong keudro dikeu Allah singoh”.
Biasanya komentar beliau hanya itu.
Pada tahun
1979, seorang pengusaha kilang kayu datang ke Raudhatul Ulum. Abuya saat itu
sedang membangun ruang belajar yang memerlukan papan dan kayu. Abuya menyampaikan
kebutuhan papan dan kayu untuk bangunan yang sedang dibuat. Akhirnya terjadi
transaksi pembelian kayu untuk bangunan dengan harga beberapa juta saat
itu. Abuya tanpa curiga menyerahkan sejumlah uang sesuai kesepakatan
hanya dengan membuat catatan pada kuitansi saja. Ternyata pengusaha kilang
kayu itu nelikung, tidak menepati janji dan khianat. Ia tidak pernah datang
lagi menjumpai abu dan mekirim utusanpun ia menghindar. Dalam keadaan seperti
itu abuya berkomentar ringan “semoga Allah memberi kesadaran padanya, membuka
hatinya untuk bertaubat, karena uang yang dia telikung itu uang bangunan
agama”. Hanya itu komentar beliau. Banyak orang merasa geram dan meminta
izin pada beliau untuk datang merampas hartanya atau me-ngambil paksa
terhadap apa yang telah diingkarinya. Tetapi Abu melarang. Biar Allah
membari kesadaran kepadanya. Memang benar. Tidak terlalu lama kilang kayu
itu bangkrut dan yang bersangkutan terserang liver akut dan dalam beberapa
bulan mati. Kisah ini nyata telah terjadi. Begitu juga terhadap berbagai
khianat yang telah dilakukan orang terhadap kepercayaan beliau. Dalam soal
pemeliharaan kerbau misalnya, ada orang yang jadi luntang lantung padahal
sebelumnya berada, punya harta, rumah dan sawah, tetapi karena khianat
terhadap kepercayaan yang diberikan, hidup papa, luntang lantung dan sakit-sakitan.
Begitulah.
Dalam
hidup beliau, nampaknya amat jarang beliau bersuara keras apa lagi memaki
atau teumeunak. Beliau selalu berkata-kata lembut dan bertutur santun.
Prilaku santun inilah yang lebih menonjol dalam keseharian beliau. Sifat lembut
dan santun itu tidak mengurangi sifat ketegasan beliau. Dalam hal-hal prinsip,
sikap beliau sangat tegas. Pada tahun 70-an, kebijakan Orde Baru saat itu, untuk melang-gengkan kekuasaan
dan pemerintahan, maka pada setiap pemilu golongan tertentu harus menang.
Untuk mencapai tujuan itu, suatu kewajiban dari kepala daerah untuk mensukseskannya,
dan keberhasilan itu pula yang menjadi tolok ukur keberhasilan kepala
daerah.
Abuya menerima tamu dari Lhokruet
(Danramil Kecamatan Samponit)
Aceh Jaya (dulu masih Aceh Barat).
Aceh Jaya (dulu masih Aceh Barat).
Abuya Syech Hajji Abdul Hamid Kamal bersama
Tgk. Hajji Abdul Ghaffar Lhoknga
dalam satu petemuan di Lhamlhom Lhoknga Aceh Besar.
Di Aceh,
untuk memenangkan golongan tertentu secara mutlak amat sulit, karena itu
ada kebijakan untuk mendekati para teungku dan ulama agar mereka dapat mendukung
program itu dan ikut bersama-sama mensukseskannya.
Sikap
abuya dalam politik sangat tegas. Seorang teungku, ulama dan pimpinan
dayah sebaiknya tidak berpolitik praktis dan ikut menjadi anggota dalam partai
politik atau golongan tertentu apalagi untuk duduk dalam kepengurusan. Hal
itu sangat dipegang abuya karena keberadaan teungku, ulama dan pimpinan dayah
harus men-jadi milik semua umat bukan milik partai atau golongan tertentu. Karena
itu, banyak pengurus partai politik yang berkunjung kerumah be-liau, minta
pendapat dan doanya. Dan semua orang yang datang dari partai politik apapun
akan dilayaninya dan diberi perlakuan yang sama. Kesempatan itu banyak
dimanfaatkan oleh Partai Persatuan Pembangunan yang menamakan dirinya
sebagai partai umat Islam. Pengurus partai ini setiap saat mengunjungi
beliau dan minta pendapat dan doanya. Walaupun perlakuan dan pelayanan yang
diberikan abu sama saja kepada siapapun yang berkunjung dan dari partai
atau organisasi mana saja tetap dilayani secara baik. Jika ditanyakan
hal ini kepada abuya, beliau dengan enteng menjawab, “Nabi dulu bukan hanya
Abu Bakar yang diterima, tetapi Abu Lahab juga dilayani”.
Begitulah.
Suatu ketika pada awal tahun 70-an, saat itu Bupati Aceh Selatan dijabat oleh
Drs. Sukardi Is. Agaknya sang bupati punya beban untuk memenangkan golongan
tertentu dalam pemilu yang sebentar lagi akan dilangsungkan. Pemilu itu
dilaksanakan pada tahun 1973. Untuk itu bupati melakukan pendekatan kepada
ulama, teungku dan pinpinan dayah atau pesantren. Tentu saja, orang yang
ditunjuk untuk melakukan pendekatan ini telah dibagi menurut tingkatannya
masing-masing, ada yang camat, bupati atau gubernur atau berbagai pihak
lain yang ditunjuk. Pada suatu hari, datang bupati Sukardi Is beserta beberapa
orang rombongan (atau pengurus organisasi politik?) ke rumah beliau di Blangpidie.
Kedatangan bupati tanpa diberi tahu sehingga abuya masih didalam kamar khusus
beliau (kamar itu dibahagian depan
yang pintunya langsung menghadap ruang tamu yang biasanya kamar itu orang
menyebutnya dengan kamar ibadat). Abuya memiliki dua kamar yang digunakan
langsungoleh beliau di rumah Blangpidie. Satu kamar tidur yang digunakan
hanya pada malam hari dan satunya lagi kamar khusus untuk ibadah dan telaah
kitab. Biasanya jika beliau di Blangpidie, pagi hari setelah dhuha beliau
melanjutkan dengan menelaah kitab di dalam kamar khusus beliau tersebut.
Setelah
diterima oleh beberapa orang murid beliau diluar, bupati diarahkan langsung
masuk ke kamar khusus tersebut. Terjadi pembicaraan yang amat serius. Inti
pembicaraan, sang bupati mengajak abuya ikut bersama-samamemperkuat
golongan tertentu dalam pemilu kedepan.”Lon
trouk keuno bersilaturrahmi dengon abang, beujeut keuh tanyo meusama tapeukuat
pemerintah yang na nyo, sehingga tanyo jeut ta bangun nangro nyo leubeh jroh
ukeu” (saya datang ke sini untuk bersiraturrahmi dengan kanda, saya harapkan
kanda dapat bersama-sama kita perkuat pemerintah yang ada ini, sehingga
kita dapat membangun daerah dengan lebih baik lagi ke depan) katanya. Tak lama
kemudian ia melanjutkan, “bang pih jeut
tabangun dayah tanyo, dan lagenyan cit bang jeut tabantu kenderaan ……………..”
(kanda juga dapat kita bangun Dayah, dan begitu juga untuk kanda perlu dibantu
kenderaan…….). Karena ada sesuatu yang boleh jadi tidak enak didengar,Abuyapun
dengan tegas menjawab. “hai Kardi, lon
kon aneuk mit jeut kapeuraba sibon-bon. Sikap lon ka jeulas. Siebago teungku
dayah dan Siebago leubee dalam masyarakat hana ikot meupolitik, meunyo na
ureung laen nyang ka ikot meupolitik nyan urusan dro maseng-maseng” (hai
Kardi…, saya bukan anak kecil yang boleh kau hibur dengan permen. Sikap saya
sudah jelas, sebagai teungku tidak ikut berpolitik praktis. Jika ada orang
yang berpolitik itu adalah urusan masing-masing). Setelah itu, senyap, dan
Sukardi sebagai bupati tertunduk. Tak lama kemudian pamit untuk kembali ke
Tapak Tuan. Begitulah ketegasan beliau kalau berhubungan dengan hal-hal yang
prinsip.
Abuya
dalam tutur sangat santun dan tidak pernah menimbulkan suara gaduh, keras
atau memaki. Teumeunak boleh jadi tidak pernah didengar oleh siapapun
maupun dalam keadaan marah sekalipun. Karena sifat lembut inilah banyak
orang yang dulunya bangsat, setelah ketemu beliau berangsur-angsur berubah
menjadi taat dan berkeinginan untuk belajar agama walaupun dengan
keadaan yang sangat payah karena masih berkawan dengan sihee atau hatinyapun
sudah “beunak”. Jika bertemu dengan orang yang belum tersentuh hatinya
untuk menjalankan agama di tempat tertentu, di kenduri atau diberbagai tempat
lainnya, orang tersebut diajak duduk berdempetan paha dan makanan untuk
yang bersangkutan dibuat dan disajikan oleh abu sendiri. Orang yang belum
tersentuh hatinya dengan agama tidak pernah ditinggalkan oleh abu.
Orang-orang seperti itulah yang dilayani secara sungguh-sungguh.
Suatu
ketika abuya bertemu dengan sesorang yang mengamalkan ilmu yang salah dan
cenderung berteman dengan jin disuatu tempat hajatan masyarakat. Abu datang
kepada orang tersebut dan memagang tangannya untuk mengajak naik kerumah
dan duduk berdampingan dengan beliau. Bukan hanya sekedar itu, tetapi
minuman dan makanannyapun abu sendiri yang buat dan menyajikannya. Selama
duduk bersama itu, terjadi pembicaraan yang santai, akrab dan serius.
Tidak lama setelah dilayani itu, ia telah sering berkunjung ke rumah abuya di
Blangpidie dan telah membuang amalan jeleknya. Karena seriusnya ia belajar
dan mengamalkan apa yang ia telah dapatkan, beberapa waktu mudian oleh
masyarakat diangkat sebagai “teungku sago” yaitu orang yang menangani agama
di desanya.
Selama
beliau menjadi imam dan khatib di masjid jamik Blangpidie mulai dari 1949
sampai 1980, tidak pernah terjadi konflik dengan berbagai pihak. Di Aceh Selatan dijumpai ada dua aliran pengamalan
agama yang saat itu sangat mudah bersinggungan
dan menimbulkan perbedaan dan konflik. Selama beliau menjadi imam dan
khatib di masjid jamik Blangpidie, berbagai pihak dan aliran tidak
menimbulkan perselisihan yang tajam. Walaupun di masjid jamik (masjid besar
di kota Blangpidie dan merupakan masjid rujukan dari masjid-mesjid lain)
menjalankan ibadah menurut faham ahlussunnah wal jamaah dan bermazhab Imam
Syafiie,misalnya, menerapkan azan Jumat dua kali, khatib tetap memagang tongkat,
taraweh dua puluh rakaat dan ditambah lagi dengan shalat tashbih, kenduri
maulid dan dike (zikir mauled) juga secara besar-besaran, dan hal-hal lain
tetap dijalankan, tetapi perpecahan tidak pernah terjadi. Biasanya perbedaan
yang rawan terjadi saat mengawali puasa, penetapan hari raya iedul fitri dan
iedul adha. Tetapi abuya tidak membuat konflik. Jika terjadi perbedaan antara
satu pihak dengan pihak lainnya, bukanlah perbedaan yang ditonjolkan, akan
tetapi dicari kesamaannya. Boleh jadi, kesejukan yang terjadi didasarkan
oleh sikap beliau melihat hukum penetapan awal bulan dalam penetapan bulan
qamariah. Di samping beliau melakukan hisap dan menghitung keberadaan
peredaran bulan(sehingga dapat menetapkan anak bulan) untuk menetapkan
awal ramadhan atau awal syawwal, abuya melakukan pula rukyah. Abu selalu
mengutus orang untuk melihat bulan atau melakukan rukyah pada berbagai
tempat dan menjalin hubungan komunikasi dengan berbagai pihak. Disamping
itu, abu juga memantau penetapan awal hari bulan yang dilakukan oleh pemerintah.
Prinsip dasar yang dipegang abuya adalah; jika pemerintah menetapkan awal
ramadhan dan awal syawal melalui rukyah, jika di daerahnya tidak dijumpai
rukyah, maka ketetapan pemerintah itu dapat diikuti oleh umat muslim
di berbagai daerah di Indonesia. Apalagi ada pendapat ulama terdahulu yang
dinukilkan dalam kitab pegangan santri dayah yang menyatakan, jika rukyah
terjadi di timur maka orang di wilayah barat dapat menjadikan rukyah itu sebagai
dasar menetapkan awal ramadhan atau syawwal. Sikap dan cara yang dianut
abuya tidak menimbulkan friksi yang tajam antar umat. Sangat dipahami bahwa
berbagai daerah lain merujuk ke Blangpidie dalam menetapkan awal ramadhan
atau syawal, karena itu selama beliau masih hidup tidak pernah terjadi perbedaan
yang tajam sehingga dapat memecah belah umat.
Kelembutan
dan tutur yang santun dari abuya diakui oleh berbagai pihak. Biayana Kamal
tokoh Muhammadyah Aceh Barat Daya dalam beberapa kesempatan kepada penulis
menyampaikan kekagumannya kepada cara berkomunikasi abuya. “Secara faham
dalam beribadah, saya dengan beliau berbedaan tetapi dalam berdiskusi, komunikasi
dan silaturrahmi saya dengan beliau sangat akrab, karena beliau sangat mendengar
pendapat dan pandangan orang lain, sehingga komunikasinya dapat berjalan
dengan baik”, katanya suatu ketika.
Pada tahun
1973 ada musyawarah ulama di Padang Sumatera Barat. Dari Aceh diundang
beberapa tengku dan ulama. Dari Banda Aceh rombongan tersebut berangkat dalam
satu bus. Ikut rombongan tersebut ulama dari berbagai kabupaten di Aceh
baik yang senior seperti Abuya Jailani di Kutafajar, abuya Hamid di
Blangpidie, Abu Lhung Ie dan Teungku Muhammad (Perti) di Aceh Besar, Abu Tanoh
Mirah, Abu Aziz Samalanga dan banyak juga teungku-teungkulain seperti Teungku
Banta Syam Meulaboh, TeungkuAbu Bakar Teunom dan yang lainnya. Diantara
abu-abu yang hadir ada yang suka pemarah. Jika ada sesorang yang terlambat
siap dalam perjalanan, beliau sering ngomel. Suatu ketika dalam perjalanan
rombongan istirahat pagi di Sidempuan. Banyak rombongan menyelesaikan
berbagai urusan pribadi, cuci muka, shalat, ada pula yang mandi, makan dan
banyak urusan lainnya. Karena banyak tengku-teungku yang belum sarapan
sedangkan jadwal berangkat sudah harus dimulai, maka beberapa teungku sudah
mulai gelisah karena belum menyelesaikan sarapan paginya, termasuk dalam
keadaan cemas itu adalah Teungku Bantasyam. Saat itu, Abuya sudah berkemas untuk meninggalkan tempat
istirahatnya akan naik kembali ke bus, Teungku Bantasyam datang memohon agar
abu tidak naik dulu ke bus, menunggu sebentar hingga mereka menyelesaikan
sarapannya. Abuya dengan rela menunggunya, sehingga abuya baru naik ke bus
bersama-sama dengan mereka, sehingga mereka itu selamat dari dimarahi oleh
abu yang lebih senior yang telah dulu naik ke bus dan telah lama menunggu.
Abu Hamid bukan hanya melindungi dan membantu masyarakat tetapi juga
membantu teungku-teungku yang lebih muda.
Sikap dan
penampilan abuya yang teduh diakui oleh banyak pihak. Karena itu, tamu
yang datang ke rumah beliau baik di Blangpidie maupun di Krueng Batee
ataupun ke Dayah Raudhatul Ulum terjadi terus menerus. Dan setiap tamu
dilayani beliau. Banyak orang datang untuk bertanya tentang agama atau berkonsultasi
tentang berbagai hal. Semua yang datang dilayani secara baik. Ada yang datang
menyampaikan tentang problem keluarga, abuya berupaya untuk mendamaikannya.
Banyak masalah yang diselesaikan abuya secara damai dan penyelesaiannya sangat
sederhana.
Kepiaweyan
abu dalam memahami masalah, pendapat orang lain dan berkomunikasi dengan
sejuk itu diakui oleh Muji Budiman seorang tokoh politik Aceh dan mantan
aggota DPR. “Abu Hamid Blangpidie sangat memahami komunikasi politik.
Banyak saran penyelesaian masalah disampaikan beliau dengan pikiran
yang tepat dan sangat jernih. Kita mudah memahaminya dan tidak perlu didebatkan”
katanya. Memang banyak pikiran-pikiran beliau kepada orang-orang politik
pada berbagai tingkatan disampaikan. Dalam banyak kesempatan beliau selalu
sampaikan, “rakyat punya wakil di lembaga pemerintahan. Jika ada
pemikiran, saran dan masalah sampaikan, sehingg pikiran dan masalah kita
akan dibawa ke forum yang tepat dan dapat diselesaikannya”. Karena itu, beliau
banyak berkomunikasi dengan berbagai pihak, misalnya dengan Amelz di
Jakarta,Tgk. Muhammad Saleh anggota DPR asal Aceh, Tgk H, Jamaluddin Wali, Muji
Budiman, H. Syahminan dan masih banyak yang lain. Korespodensi dilakukan melalui
surat, saat beliau berkunjung atau saat mereka datang ke rumah beliau.
Luasnya korespodensi yang dilakukan abuya itu oleh Muji Budiman sering menyebutnya
“Abu Hamid Blangpidie sebagai Ulama Diplomat” yang amat jarang dijumpai
dalam kalagan ulama pesantren. **
Tgk. H. Jamaluddin
Waly bersama Abuya Syech H. Abdul Hamid
Kamal
di Gampong Alue Teungku Muda Alue Rambot Aceh Selatan.
di Gampong Alue Teungku Muda Alue Rambot Aceh Selatan.
Abuya
sekeluarga di Blangpidie
Mampu Menengahi
Perselisihan
Pada tahun 1970-an, partai politik di Indonesia
diperkecil, dari partai yang jumlahnya banyak menjadi tiga partai saja.
Partai-partai itu adalah Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan
Pembangunan (P3), yang merupakan gabungan partai-partai yang berazaskan
Islam, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari partai-partai
nasionalis dan juga partai non muslim.
Setelah terjadi fusi dari beberapa partai ke
dalam Partai Persatuan Pembangunan (P3) maka di Kabupaten Aceh Selatan
diadakanlah Musyawarah Daerah untuk memilih struktur organisasi partai dan
hal-hal lain yang berhubungan dengan itu. Musyawarah dihadiri berbagai
tokoh dan pemuka-pemuka politik dari partai yang berfusi. Semula panitia
pelaksana berharap musyawarah tersebut dapat berlajalan adem dan sejuk
tetapi dalam pelaksanaannya tersandung kerikil-kerikil tajam, terutama
saat pemilihan ketua. Dalam politik kesepekatan tentang arah jalannya
partai lebih mudah diperoleh kesepakatan dibandingkan dengan menentukan
pemimpin partai. Saat sesi penentuan calon ketua terjadilah perdebatan tajam
dan sangat susah ditemukan persamaan. Dalam hubungan ini, kepentingan
perorangan atau kolektif menjadi didahulukan.
Disesi penentuan calon ketua terjadi perdebatan yang tak berujung,
karena muncul banyak calon ketua dari berbagai daerah dan dari berbagai asal
organisasi yang ikut berfusi. Muncullah calon ketua dari berbagai daerah dan
organisasi. Ada calon dari Singkil, dari Bakongan, dari Klut Utara, dari
Tapak Tuan, dari Meukek, dan dari Blangpidie. Masing-masing calon itu melakukan
monuver-monuver tersendiri sehingga jalannya musyawarah menjadi tersendat,
dan ini pertanda tidak baik untuk sebuah organisasi Islam saat itu.
Saat kebuntuan jalannya musyawarah, ada saran pendapat dari peserta
yang mengusulkan masalah tersebut perlu dikonsultasikan dengan ulama.
Disarankanlah beberapa ulama yang perlu dikonsultasikan dan dikirimkan utusan
secara langsung yaitu diantaranyan kepada Abu Adnan Mahmud di Bakongan,
Teungku Zamzami di Singkil, Abu Jailani Musa di Kota Fajar dan Abu Hamid
Kamal di Blangpidie. Abu Adnan, Abu Jailani, Tgk. Zamzami, dan beberapa yang
lainnya yang dihubungi memberikan pendapat dan nasehat secara lisan untuk disampaikan
dalam musyawarah tersebut. Abu Hamid Kamal disampaing terjadi diskusi dengan
utusan musyawarah beliau menyatakan akan hadir sebagai penasehat dalam
musyarah tersebut, terutama khusus tentang pemilihan ketua saja. Hal itu dilakukan
mengingat jika perselisihan terjadi
diawal organisasi seperti itu maka partai yang menyatakan dirinya
wadah umat Islam itu tidak berarti lagi. Abuya menaruh perhatian yang sangat
serius tentang itu, walaupun beliau bukan anggota partai P3 dan bukan pula
pengurus partai itu. Boleh jadi panggilan hati nurani saja yang menyebabkan
beliau menaruh perhatian berlebih dalam pelaksanaan musyawarah partai
Islam itu.
Pada saat skor rapat dibuka, abuya sudah
hadir di dalam ruangan. Para utusan konsultasi yang telah diutus masing
memberikan laporan tentang nasihat ulama yang diharapkan dapat
menyelesaikan masalah. Semua laporan itu di catat dan didengan oleh peserta.
Karena
Abu Hamid Kamal hadir di dalam ruangan rapat maka pimpinan sidang (waktu itu
siding dipimpin oleh H. Syahminan) meminta pendapat beliau secara langsung.
Abu Hamid Kamal menyampaikan berbagai hal tentang keutuhan organisasi dan
menjaga silaturrahmi yang harus dikedepankan dalam partai Islam. Tanpa
silaturrahmi partai menjadi tidak bermakna. Ada saran yangmenarik disampaikan
beliau saat itu, masalah calon ketua siapapun boleh, tetapi yang perlu disepakati
adalah kriteria calon ketua. Beliau
secara langsung memimpin penentuan kriteria calon ketua. Diantara banyak
kriteria yang diusulkan ada beberapa kriteria kunci yang mampu mendamaikan
pihak berselisih; (1).Ketua relative
faham politik dan faham mengelola organisasi. (2).Calon ketua berasal dari
pengurus partai yang berfusi. (3).Untuk memudahkan urusan dengan kabupaten,
calon ketua bertempat tinggal di Tapaktuan sebagai ibukota kabupaten.
Usulan abuya itu secara aklamasi diterima, dan pemilihan ketua berlangsung
mulus hanya setengah jam saja.
Kriteria yang disampaikan Abuya itu
menyebabkan H. Syahminan terpilih menjadi ketua Partai Persatuan Pembangunan (P3)
Aceh Selatan yang pertama setelah fusi dan kemudian terpilih pula untuk beberapa
priode berikutnya. Secara kebetulan H. Syahminan berasal dari Organisasi
Perti yang merupakan salah satu partai yang berfusi dengan P3 saat itu.
Kepiawaian berpolitik itu ditambah lagi
kemampuan berkomunikasi yang santun mampu menjembatani berbagai pihak yang
tadinya beda pendapat, bersilang kata dan berbeda kepentingan menjadi satu
kembali. Kemampuan inilah yang oleh Muji Budiman mantan Anggota DPR RI dan
tokoh P3 Aceh itu menyebutnya “abu Hamid
Kamal Blangpidie, seorang Ulama Diplomat”, amat jarang ditemui ulama
dayah yang berkemampuan seperti itu.
Allahuyarham. (**)
Abuya Syech
H. Abdul Hamid Kamal. bersma santri Foto doc. 1975
Komentar
Posting Komentar