BIOGRAFI
 ABU TEUNGKU SYECH T. MAHMUD
“Gurunya Para Ulama”

PENGANTAR:
Dalam berbagai kesempatan, setelah orang banyak tahu bahwa penulis telah me­nyiapkan Biografi Abuya Syech Haji Abdul Hamid Kamal, (karena dalam men­da­patkan data-data banyak bertanya dan melibatkan masyarakat sebagai narasumber),  ma­ka berbagai  pihak meminta juga agar penulis dapat menyajikan Biografi Abu Syech T. Mahmud (dalam keseharian beliau disapa dengan panggilan Abu Syech Mud, begitulah beliau disapa oleh murid-muridnya dan masyarakat), karena mereka sa­ngat ingin mengetahui kehidupan  ulama zuhud yang sangat alim tersebut, wa­lau­pun secara ringkas. Hal itu sangat penting karena generasi kini sudah tidak tahu lagi tentang sosok Ulama itu. Mereka sudah tidak mengetahui lagi bahwa Abu Syech Mud lah pendidik dan guru para ulama di Aceh dan melalui didikan beliau telah muncul banyak ulama baik di pantai barat Aceh maupun di Aceh bahkan juga di luar Aceh seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan beberapa daerah lainnya.  Permintaan masyarakat tersebut telah penulis upayakan walaupun sangat diakui bahwa sejarah hidup beliau yang disajikan masih sangat dangkal dan hanya menguraikan bahagian lu­ar­nya saja.
Dalam menghimpun data dijumpai banyak kesulitan baik di Blangpidie dan daerah-daerah lainnya maupun sumber informasi di Aceh Besar, di Lhoknga atau di Lampuuk. Walaupun Sumber in­formasi masih mudah diperoleh, tetapi informasi hanya diterima melalui lisan, dan umumnya mereka tidak dapat menunjukkan data tertulis. Sebahagian besar data diperoleh hanya dalam bentuk menyampaikan data menurut cerita generasi yang lalu (setingkat nenek dan kakek mereka). Karena itu, informasi yang didapatkan hanya dalam bentuk  samar-samar. Wa­lau­pun demikian, ada banyak data pula yang tingkat kesahihannya sangat baik terutama tentang pembelotan saat ditugaskan untuk belajar, dan pe­nu­gasan beliau ke Blangpidie.
Dalam keterbatasan sajian ini, penulis mengharapkan bahwa melalui tulisan ringkas ini telah dapat men­ja­wab terhadap keinginan masyarakat untuk mengetahui: bahwa di daerah Blangpidie ada seorang ulama zuhud yang sangat alim dan beliau adalah gu­runya para ulama di pantai barat dan selatan Aceh bahkan guru se­ba­ha­gian ulama di Aceh serta di daerah-daerah lain.
Sangat disadari bahwa sajian tulisan ini banyak kekurangannya, karena itu kelengkapan data dapat diupayakan untuk melengkapkan Biografi Ulama Zuhud ini.

Penulis.  12 Mei 2018.



Abu Teungku Syech T. Mahmud Bin T. Ahmad

Abu Teungku Syech T. Mahmud seorang ulama sufi yang sa­ngat saleh. Be­liau setelah ditugaskan oleh ke­ra­jaan Aceh men­jadi teungku di Blang­pidie pada ta­hun 1927 (karena diminta oleh T. Sabi – ulee balang Kuta Batee ke KutaRaja), selan­jutnya setahun kemudian (1928) mem­bangun Da­yah Bustanul Huda. Dayah Bus­tanul Hu­da merupakan satu-satunya Dayah terbesar di wi­la­yah itu yang santrinya ber­da­tangan dari berbagai pe­lo­sok daerah dan banyak meng­hasilkan ulama masy­hur di Aceh maupun luar Aceh.
Teungku Syech Teuku Mahmud bin T. Ahmad lahir di Lam­puuk Lhok­nga Aceh Besar pada tahun 1899. Teungku Syech T. Mahmud me­rupakan ke­luarga ulee balang di kam­pung­­nya Lampuuk. Wilayah sago Lam­puuk meru­pa­kan da­e­­­rah dekat pantai di wilayah Lhoknga. Setelah me­nye­le­saikan sekolah rendah tiga tahun di Lhoknga tahun 1907, kemudian oleh kolonial karena beliau sebagai anak ulee balang dan dinilai cerdas diberi fasilitas un­tuk me­lan­jut­kan pendidikan ke sekolah lanjutan. Walau­pun beliau di­ma­sukkan ju­ga ke sekolah lanjutan tersebut di Lhoknga, te­ta­pi beliau hanya belajar beberapa tahun sa­ja. Tahun 1914 ia menyelesaikan pendidikannya di sekolah lajutan tiga tahun itu. Beliau diminta untuk melanjutkan pula sekolahnya ke se­kolah lain, tetapi karena tidak be­tah dengan sis­tem pen­di­dikan kolo­nial, beliau keluar. T. Mahmud ke­mu­di­an me­lan­jutkan ke pen­di­dikan aga­ma ke beberapa Da­yah. Wa­­lau­pun tindakan beliau ini tidak dise­tujui oleh ko­lo­nial yang memberi bea­sis­wa untuk bela­jar, beliau tidak mem­per­du­li­kannya.

T. Mahmud Tertarik Belajar Agama
Dalam melajutkan pendidikan agama, pertama ia bela­jar dasar-da­sar agama Islam dan al-quran di de­sa­nya Lam­puuk Lhok­nga, kemu­di­an melan­jutkan ke Da­yah Darul Ih­san Krueng Kalee pada tahun 1915. Dayah Darul Ihsan yang me­ru­pakan dayah yang dibangun oleh Abu Teungku Muhammad Hasan Krueng Kalee dan sangat masyhur sa­at itu. Santrinya bu­kan saja dari ber­bagai pelosok Aceh, tetapi juga berbagai dae­rah lain bah­kan dari lu­ar negeri.
Sesungguhnya, Abu Teungku Syech T. Mahmud sudah cu­­kup alim saat se­lesai belajar di Dayah Darul Ihsan pa­­da tahun 1920, tetapi karena ke­inginan be­la­jar ma­sih kuat beliau me­lan­jut pendidikannya ke negeri Yan di Sema­nanjung Malaysia se­jak tahun 1921 sampai 1925. Selama lima tahun beliau be­rada di negeri Yan itu, beliau lebih ba­nyak ber­tin­dak sebagai guru di­ban­ding­kan sebagai san­tri. Walaupun demikian, ba­nyak pula pengetahuan yang diper­oleh­nya di negeri itu.


Membelot ke Semenanjung
Melanjutkan pendidikan ke negeri Yan tersebut sebe­nar­nya merupakan pembelotan (pelarian) dari penugasan kolo­ni­al untuk me­lanjutkan pendidikan ke Nederland atau ke Bata­via (Betawi). Anak-anak ulee balang saat itu yang dinilai me­miliki kecerdasan perlu diberikan fa­si­li­tas untuk melanjutkan pen­didikan. Mungkin tujuan ko­lonial setelah tugas belajar se­lesai, dapat dijadikan kaki tangan atau pe­gawai mereka nan­tinya di Aceh. Jika kerani atau pe­mim­pin dijadikan orang-orang Aceh sendiri mungkin saja per­go­lakan yang terjadi se­ti­ap saat di Aceh dapat dihentikan a­tau sekurang-kurang­nya da­pat reda. Belanda menerapkan strategi itu menjalankan nasehat Snouch Hugronyeu seorang ahli strategi Belanda yang khusus di kirim ke Aceh dalam rangka mendapatkan strategi memadamkan perlawan rakyat Aceh. Mungkin dengan diterapkan strategi ini pergolakan rakyat Aceh yang masih berlangsung sampai awal abad 19 dapat dihentikan. Strategi itulah yang akan digu­na­kan oleh Be­landa. Karena itu pada tahun 1915/­1916, diberi fasiltas kepada anak-anak ulee ba­lang yang berbakat untuk melanjutkan pen­didikan. Ba­nyak anak-anak ulee balang saat itu yang di­be­rikan bea siswa untuk be­lajar ke Batavia (Betawi) atau ke Ne­der­land. Tapi beda dengan Abu Teungku Syech Teuku  Mah­mud. Be­li­au tidak menyukai tawaran tersebut, dan beliaupun tidak ingin untuk me­lanjutkan pendidikan ke tempat la­in, apalagi ke Nederland.
Tapi, karena beliau telah terdata dan didaftarkan untuk ikut pendidikan, maka beliau diperintahkan juga bersiap-siap un­tuk berangkat bersama dengan rom­ba­ngan anak-anak ulee balang lainnya yang sudah siap berangkat. Pada akhir tahun 1920, Abu Teungku Syech T. Mah­mud yang baru pulang dari Dayah Darul Ihsan Krueng Kalee, terpaksa ikut juga da­lam rombongan itu. Rom­bangan berangkat dengan me­num­pang kapal Belanda dari Ule Lheu tujuan Betawi dan Nederland. Kapal ter­se­but dalam perjalanannya singgah di Pulau Penang Malaysia. Saat kapal singgah itu, Tgk. Syech T. Mah­mud turun dari kapal meninggalkan rombongan dan menyeberang ke da­ratan Malaysia,  selanjutnya me­ne­tap di Lembaga  Pendi­di­kan Agama Islam (mung­kin sejenis per­gu­ruan tinggi) yang saat itu tergolong besar di ne­geri Yan dan seme­nan­jung Ma­laysia. Walaupun nama lembaga pen­di­dik­an tersebut sangat terke­nal, tetapi keadaan lem­baga pendidikan itu struktur dan keadaannya sema­cam lembaga pendidikan dayah di Aceh. Lembaga pendidikan itu juga yang merupakan sejenis dayah sa­la­fiah dan ter­go­long sangat besar saat itu. Murid­nya di ­sam­ping dari Ma­laysia juga banyak pula dari Sumatera, Aceh, Jawa, Sula­we­si dan ne­geri Pattani di Thailan.

Memasak Kuwah Batu
Pembelotan beliau ke negeri Yan Malaysia dengan turun dari kapal di Penang, tidak diketahui oleh seorangpun termasuk oleh ayah beliau dan seluruh keluarga  di Lampuuk, Lhoknga. Para keluarga di kampung mengira T. Mahmud sudah berangkat dan sekolah ke Betawi atau Nederland. Lama tidak ada berita dan setahun sudah berlalu. T. Mahmud hidup dan belajar di negeri Yan tidak didukung oleh dana beasiswa dan tidak dapat kiriman dari orang tua di kampung.
Dalam keadaan sempit seperti itu, T. Mahmud mendapat informasi bahwa di negeri Yan ada beberapa keluarga Aceh dan telah bermukim lama di situ dan bahwa telah menjadi warga anak negeri. T. Mahmud sering berkunjung ke keluarga tersebut bahkan telah dijadikan “anak sebut” oleh mereka, sehingga kebutuhan bahan makanan sering dibantu oleh beberapa keluarga itu.
Biasanya kebutuhan bahan makanan dalam bentuk beras sering diberikan mereka dan tidak jarang pula “keluarga sebut” itu memberikan uang. Karena ia hidup sendiri maka kekurangan bahan pangan (beras) tidak terjadi. Akan tetapi ia juga kadang-kadang juga kekurangan uang. T. Mahmud sangat membatasi untuk menggantungkan hidupnya pada “keluarga sebut” itu. Ia akan menyelesaikan kebutuhan hidupnya sendiri.
Setahun sudah berlalu, uang yang dibawa sebagai persiapan untuk bekal tugas belajar sudah habis dan untuk makan nasi putih dengan diberi kuwah air sudah tidak selera lagi. Saat itu, beliau  teringat tentang masakan gampong. Ada kuwah ikan Masam Keu eung, tumeh dhek, dan sebagainya. Apa daya untuk membeli ikan tidak ada uang, Menunggu kiriman dari kampong juga tidak mungkin datang, karena mereka tidak tahu bahwa T. Mahmud ada di negeri Yan. Mau minta ke  “keluarga sebut” terasa malu karena mereka sudah sangat banyak dibantu. Maka keinginan selera itu ditahan saja. Suatu waktu. Muncul ide untuk memasak kuwah masam Keu eung tetapi yang dimakan kuwahnya saja. Memang untuk masakan asam keu eung atau tumeh dhek, memerlukan ada amis (anyie) ikan. Pergilah T, Mahmud ke sungai. Dicarinya beberapa buah batu yang telah ditumbuhi lumut, batu itu digunakan untuk mendapatkan amis (anyie) ikan, kemudian dicuci dan dibawa pulang ke bilik di dayah.
Soal kepandaian memasak memang sudah terlatih saat ia belajar di Dayah Darul Ihsan Krueng Kalee dulu. Maka digunakanlah batu berlumut itu sebagai pengganti bau amisnya ikan. Selanjutnya batu diberi bumbu dan dimasak untuk menghasilkan kuwah. Makanan kuwah batu tulah penebus “hawa selerah kuwah masam keu eng” yang lama diidamkannya.

Ayah Di Kampung Terkejut.
Sudah lebih setahun T. Mahmud belajar dan sekaligus menjadi guru di negeri Yan tidak diketahui oleh keluarga di kampung Lampuuk. Mungkin juga kolonialpun tidak mengetahuinya bahwa T, Mahmud sudah membelot. Keluarga di Lampuuk mengira T. Mahmud belajar di Betawi atau Nederland. Tapi anehnya, kenapa sudah lebih setahun T. Mahmud tidak mengirim surat memberi tahu tentang keadaannya. Komunikasi sama sekali tidak terjadi. Walaupun demikian, keluarga di gampong tenang saja, karena dalam pikiran mereka T. Mahmud sudah sibuk dalam beajar di Betawi atau Nederland.
T. Mahmud di negeri Yan enggan mengirimkan surat ke kampung karena ia merasa khawatir jika pembelotannya diketahui oleh kolonial dan takut ia akan disuruh pulang atau bahkan dipaksa pulang dan diambil tindakan-tindakan lainnya. Untuk menghindari keadaan itu ia tidak mengirim surat ke kampungnya.
Sampailah pada suatu ketika,  datanglah murid baru dari  Aceh dan secara kebetulan berasal dari Lhoknga juga. Murid baru itu bernama Muhammad Yusuf. Ia berasal dari kampung Seubun Lhoknga melanjutkan pendidikan ke negeri Yan. Bertemulah mereka di sana. Sejak itu, misteri T. Mahmud telah diketahui kelarga di Lampuuk. Mulai saat itu masalah dana kehidupan telah teratasi sampai ia kembali pulang ke Aceh.
Keadaan Nanggrou
Pada Akhir abad ke 18 sampai awal abad 19 di ke­ra­jaan Aceh Darussalam terjadi pergolakan yang sa­ngat panjang. Padaakhir abad 18, Belanda sudah me­ngu­asai pantai barat dan selatan aceh. Marsose (ser­da­du) Belanda sudah ber­do­mislili di be­be­ra­pa tempat di pantai barat dan selatan aceh. Di Blangpidie missal­nya, telah dibangun tangsie atau saat itu sering dise­but dengan bivak yang diisi oleh serda­du (marsose) Be­landa. Karena itu, pada tanggal  13 Juni 1899, se­o­rang controleur Belanda di Tapak Tuan mengirim surat ke Kutaraja dan Batavia menyebutkan bahwa ada dae­rah sepanjang pantai barat dan selatan aceh, daerah itu tergolong makmur menghasilkan banyak rempah-rem­­pah yang ber­mu­tu baik, menghasilkan bahan pa­ngan lebih dari cukup. Daerah itu terletak di bahagian ba­rat daya aceh dengan pelabuhan singgah dilakukan di teluk Surien dan di Susoh. Daerah yang makmur itu te­lah dikuasai oleh Belan­da.
Walaupun dalam laporan controleur Belanda me­nye­­but­kan bahwa daerah di barat daya aceh telah dikuasai, te­ta­pi pergolakan secara sporadic terus ter­jadi. Sejak Be­landa masuk ke pantai barat selatan aceh, T. Ben Mahmud Ulee Balang wilayah Blangpidie waktu itu tidak mau beker­ja­sama dengan Belanda. Be­liau bukan saja tidak mau bekerja sama tetapi juga me­lakukan perlawan. Berbagai peperangan terjadi, se­hingga beliau menyingkir dan be­gerilya di hutan-hu­tan  sepanjang bukit barisan mulai da­ri hutan Blang­pi­die sampai ke Bakongan dan bahkan ada keterangan wi­layah gerilya itu sampai ke perbatasan Su­ma­tera U­tara.
Pada tahun 1905, T. Ben Mahmud dan pasukannya me­­nyu­­sun strategi penyergapan pasukan Belanda yang sering ber­kunjung dari Tapak Tuan atau Blang­pi­die ke beberapa daerah untuk melakukan patroli. Saat pa­sukan Belanda berada di Meukek, pasukan T. Ben Mah­mud  yang saat itu dipimpin oleh T. Idris me­la­ku­kan penyerangan, menye­bab­kan Belanda kucar kacir dan ada yang meninggal. Belanda marah dan mela­ku­kan sweeping secara ketat, sehingga T. Idris dapat di­tangkap, ke­mudian dibuang ke Ternate, Maluku.
Pasukan T. Ben Mahmud tidak patah semangat de­ngan tertangkapnya T. Idris, malah melakukan penye­ra­ngan se­ca­ra sporadic dan bergerilya di berbagai tem­pat. Karena gang­guan keamanan yang terjadi te­rus menerus yang digerakkan oleh T. Ben Mahmud, ma­ka Belanda me­ng­in­ten­sifkan pencarian terhadap be­liau. Begitulah, beberapa la­ma kemudian T. Ben Mah­mud dapat ditangkap, ke­mu­di­an dibawa ke Ku­ta­ra­ja dan kemudian diasingkan ke Ba­ta­via. Karena di­ang­gap dan dicurigai masih berpengaruh, ma­ka se­lan­jutnya dibuang ke  Maluku.
Semula Belanda menganggap dengan ditangkap­nya T. Ben Mahmud dan T. Idris perjuangan dari pihak Ulee Ba­lang dapat dipatahkan dan keadaan dapat di­ku­asai. Hal ini di­tandai dengan telah terjalin ker­ja­sa­ma antara ulee ba­lang pengganti beliau dengan Be­lan­da. Tetapi nyatanya, per­juangan yang digerakkan oleh ulee balang sudah redup, mun­cul pula gerakan  yang lebih dahsyad yang digerakkan oleh “kelompok teung­ku”. Gerakan perjuangan dikuma­dang­kan itu memiliki semboyan “hudeep saree matee sya­hid” (hidup bersama, jika mati syahid). Gerakan yang dilakukan oleh kelompok teungku ini se­mula be­ru­pa gerakan senyap di bawah tanah. Orang Aceh me­nye­butnya “gerakan apui lam seukeuem” (api dalam sekam). Gera­kan di­am-diam yang mengganggu pergerakan Be­lan­da itu sa­ngat mengkhawatirkan keselamatan, dan perge­ra­kan inilah yang sa­ngat ditakuti oleh Belanda. Gerakan senyap inilah yang dipimpin oleh Teungku Peukan.
Siapa Teungku Peukan?. Teungku Peukan adalah seo­­­rang guru mengaji yang sangat dihormati di kam­pung­nya, dan ia terlahir dalam keluarga teungku. A­yah­nya  bernama Teungku  Padang Geunteng dan ibu­nya bernama Zulaikha. Teungku Peukan lahir di salah satu gampong di Manggeng (mungkin sekarang Lem­bah Sabil) pada tahun 1886. Ia me­mang lahir dan di­be­sarkan pada saat Aceh dalam pergo­la­kan melawan Belanda. Aceh mulai berperang melawan Belanda pa­da tanggal 18 April 1873. Mulai saat itu Aceh me­nya­ta­kan perang dan tidak pernah menyerah. Penye­bab Aceh berperang karena Belanda melakukan perjanjian se­pihak dengan Inggris yang menghasilkan “Traktat Suma­te­ra” yaitu yang menyatakan Belanda menguasai Su­ma­te­ra sedangkan Inggris menguasai semenajung Ma­laya. Se­be­lumnya kerajaan Aceh telah mengikat perjanjian dengan Inggris yang disebut dengan “Trak­tat London” yang me­nya­takan Aceh secara merdeka dan bebas melakukan per­da­gangan dengan berbagai negara di dunia terutama de­ngan Turki, Inggris, Ero­pah dan berbagai negara lainnya. Karena Belanda me­maksa keinginannya untuk menguasai negeri, maka Aceh melawan dan menyatakan perang yang tercatat dalam sejarah sebuah peperangan yang sangat pan­jang. Dalam keadaan Aceh seperti itulah Teukue Peu­kan lahir.
Setelah T. Idris dan T. Ben Mahmud tertangkap dan di­bu­ang, gerakan rakyat mulai meredup. Seiring de­ngan itu, Belanda sudah mulai bebas memasuki ber­bagai wilayah di daerah Selatan Aceh. Marsose dari Tapak Tuan sering da­tang ke Blangpidie, demikian juga sebaliknya. Mereka da­tang untuk melakukan pat­roli.
Tentara Belanda yang makin  bebas menjelajahi wi­la­yah menyesakkan dada para teungku. Mereka menyusun strategi untuk melakukan penyerangan. Se­ca­ra senyap (diam-diam) berbagai pihak yang dipim­pin oleh Teungku Peukan menyusun kekuatan dengan menyampaikan sem­bo­yan “hudeep saree matee sya­hid” (hidup bersama dan jika mati syahid). Berbagai kelompok dalam masyarakat terdiri da­ri kelompok silek, kelompok da­bouh, pemuda gam­poung dan rakyat biasa mulai mengasahkan parang, pe­dang dan recong bersiap-siap kapan diperintahkan langsung menyerang. Begitulah.
Pada hari Kamis, informasi sudah disampaikan bah­wa pasukan sudah bersiap untuk melakukan pe­nyerangan. Teungku Peukan telah menginstruksikan  bah­­wa semua pa­­sukan menggunakan pakaian hitam dengan celana di a­tas mata kaki atau lebih singkat lagi untuk memperlincah ge­ra­kan saat menyerang. Setiap panglima memakai “selem­pang kuning” yang diikat da­ri bahu sampai ke pinggang, se­dang­kan anggota pa­su­kan memakai tali lilitan kain kuning di pinggang. Ini hanya memberi tanda saja antara panglima dan ang­go­ta pasukan.
Sebelum maghrib pasukan sudah mulai berkumpul di “Balai Gadeng”, sebuah balai yang digunakan untuk shalat berjamaah dan juga tempat dilaksanakan pe­nga­jian agama oleh Teungku Peukan. Setelah shalat maghrib, Teungku Peu­kan menyampaikan beberapa ins­truksi tentang strategi penyerangan dengan mem­ba­gi beberapa kelompok yang dipimpin oleh seorang panglima. Teungku Peukan juga menyatakan sasaran penyerangan malam itu adalah tangsi (bivak) Belanda di Blangpidie. Jarak antara Manggeng dan Blangpidie sekitar 20 Km.
Pada malam Jum’at 11 September 1926, setelah Isya, Teungku Peukan melaksanakan zikir bersama de­ngan se­lu­ruh pasukannya. Tujuan zikir itu adalah un­tuk mem­ber­sih­kan hati dari ria, takabbur dan tsum’a ser­ta perjuangan yang dilakukan itu semata-mata ka­re­na Allah swt. Zikir ju­ga menambah semangat pa­su­kan sehingga mereka merasa tidak sabar lagi untuk langsung berperang. Alat perang me­re­ka memang se­der­hana, hanya terdiri dari rencong, pedang, parang dan tombak. Hanya itu. Senjata api yang saat itu di­se­but “beudee” mereka tidak punya. Dan, Be­lan­da pu­nya senjata Beudee itu.
Sebelum tengah malam, Teungku Peukan meme­rin­­tah­kan pasukannya bergerak menuju Blangpidie, be­liau juga me­merintahkan anaknya bernama Thalhah untuk me­me­gang bendera komando. Sepanjang jalan pasukan larut da­lam zikir yang dapat memacu se­ma­ngat juang.
Pada sepertiga akhir malam, pasukan Teuku Peu­kan su­dah tiba di Balai Pengajian Teungku Di Lhoong di Lam Sijieum (sekarang Geulumpang Payong). Pa­su­kan ber­is­ti­ra­hat, menyusun dan mempertegas stra­tegis penyerangan. Sekitar pukul empat pagi pasukan bergerak untuk mela­ku­kan penyerangan dan marsose di bivak sedang nyenyak da­lam tidurnya. Pasukan Teu­ku Peukan masuk ke asrama me­lakukan penyerangan menyebabkan porak-poranda pa­ra marsose saat itu. Di kabarkan banyak serdadu Belanda yang mati akibat penyerangan itu. Selesai penyerangan pa­su­kan Teung­ku Peukan mundur ke Mesjid Jamik yang le­tak­nya ti­dak jauh dari bivak Belanda itu.
Saat berkumpul di masjid (masjid saat itu meru­pa­kan bangunan panggung terbuat dari kayu dan hanya diguna­kan untuk shalat saja). Selanjutnya waktu shu­buh­pun  ti­ba, maka Teungku Peukan mengumandang­kan azan dan me­laksanakan shalat shubuh berjamaah.
Sementara itu, serdadu Belanda di bivak yang se­la­mat segera mengambil senjata dan menyusun barisan untuk me­lakukan penyerangan balasan. Para serdadu Belanda sangat tahu bahwa pasukan Teungku Peukan berada di masjid dan melaksanakan shalat. Saat itulah Belanda me­nye­rang, sehingga banyak pula pasukan Teungku Peukan yang syahid termasuk Teungku Peu­kan sendiri syahid. Me­li­hat suasana yang kacau itu dan Teungku Peukan sudah syahid, ber­ge­rak pula anak Teungku Peukan bernama Mu­ham­mad Kasim menghimpun kekuatan pasukan untuk me­la­kukan se­ra­ngan pembalasan. Dalam perlawanan itu ba­nyak pu­la pasukannya syahid termasuk Muhammad Kasim. Se­luruh korban syahid dalam penyerangan itu diku­bur­kan di sekitar masjid jamik termasuk Teungku Peu­kan. Saat ini ku­bur beliau diberi tanda yang jelas dan di­kunjungi pada setiap peringatan hari pahlawan.
Setelah suasana pagi dan telah terang pasukan ter­si­sa menyingkir ke Lam Sijieum, dan selanjutnya kem­ba­li ke Manggeng.
Setelah Syahidnya Teungku Peukan perjuangan di­lan­jut­kan oleh Pang Panuek, Sidi Rajab, Waki Ali, Nyak Walad dan Umar. Penyerangan-penyerangan secara spo­radic dilakukan sampai beberapa waktu kemudian.
Belanda memperketat melakukan sweeping untuk  men­­cari pejuang yang tersisa. Pada bulan Maret 1927 sisa pa­sukan Teungku Peukan menyerang marsose Be­lan­da yang sedang melakukan patroli. Serangan ini me­­nye­bab­kan Belanda mengambil tindakan dengan member­hen­ti­kan Ulee balang Manggeng (T. Nana) dan menggantinya dengan Ulee Balang lain. Bukan ha­nya itu, tetapi juga menangkap beberapa panglima perjuangan, diantaranya Waki Ali dan Nyak Walad di­buang ke Jawa (Betawi), sedangkan Umar dibuang ke Makasar.
Begitulah keadaan nangrou saat itu. Dalam sua­sa­na seperti itulah, pada tahun 1927 Abuya Tungku Syech T. Mahmud di tugaskan ke Blangpidie..

Kembali ke Aceh
Setiba kembali di Aceh  pada tahun 1926 langsung pu­lang ke Lam­puuk, Lhoknga. Tapi kepulangan beliau diketahui oleh kontroler di Lhoknga dan se­terusnya informasi kepulangan beliau oleh kontroler Lhoknga di­sam­pai­kan ke pemim­pin Belanda di Kutaraja (Ban­da Aceh) . Ber­sa­ma­an dengan itu, di Blangpidie ter­ja­di pula pe­nye­rangan tangsi (bivak) Belanda oleh Teungku Peu­kan. Serangan itu menimbulkan korban jiwa. Korban ji­­wa dari pihak mujahidin (pejuang) ber­da­sarkan fatwa Teungku Muhammad Yunus yang lebih dikenal de­ngan Teungku Di Lhoong (saat itu teungku yang ditu­gaskan di Blangpidie) tidak perlu diman­di­kan, dika­fan­kan dan disha­latkan, tetapi lang­sung dikebumikan karena di­anggap sya­hid. Jasad para syuhada tersebut dike­bu­mi­kan di sekitar mes­jid jamik Blangpidie. Tin­da­kan Teung­ku Di Lhoong terse­but menim­bul­kan kema­ra­han Belanda ka­rena secara tidak langsung Teungku Di Lhoong telah me­mi­hak pejuang yang oleh Belanda di­anggap ekstrimis. Karena itu, pihak Belanda me­ngu­sul­kan agar Teungku Di Lhoong segera di­ganti dengan teung­­ku yang lain. Belanda memanggil T. Sabi Ulee Ba­lang Blangpidie waktu itu untuk meminta agar Tgk Di Lhoong segera diganti. T. Sabi bermusyawarah de­ngan berbagai pihak menyepakati untuk menganti Teung­ku yang mengajari agama di wilayah Blangpidie dan seki­tar­nya. Usulan penggantian itu akan dilakukan bersama yaitu pihak Controluer menyampaikan per­mintaannya ke  Kutaraja, dan  ulee balang akan me­ngu­sulkan per­min­­taan penggantian tersebut ke Kuta­ra­ja pula. Karena itu, pihak Belanda ber­mu­sya­warah de­ngan pihak peme­rin­tahan sipil Aceh (mungkin yang mewakili kerajaan) me­nun­juk Teungku Syech T. Mahmud bin T. Ahmad dari Lam­puuk un­tuk menggan­ti­kan teung­ku di wilayah Blangpidie ter­da­hu­lu. Pada tahun 1927, Teungku Syech T. Mahmud su­dah berada di Blang­pidie dan pada tahun 1928 mem­ba­ngunan Dayah Bustanul Huda.
Sebagaimana diuraikan bahwa Teungku yang me­nga­­ja­ri agama di Blangpidie telah ada saat itu yaitu Teungku Muhammad Yunus atau Teungku Di Lhoong seo­rang ulama alim dan zuhud. Sebelum datang Teung­ku Di Lhoong ke Blangpidie, daerah ini belum me­mi­li­ki seorangpun teungku yang alim dan yang sangat me­ma­ha­mi agama. Di wilayah ulee balang T. Ben Mahmud yaitu wilayah Kuta Batee dan sekitarnya, saat itu, yang ada teungku-teungku yang mengajar anak-anak mengaji al-quran dan hanya mampu me­nga­jar kitab-kitab rendah, misalnya, kitab yang ber­tu­li­skan arab jawo. Di samping itu, di wilayah Kuta Batee dan sekitarnya saat itu banyak tumbuh perkum­pu­lan silek (silat), tob dabouh (debus), dan beberapa kelompok kesenian tradisional aceh seperti tarian seudati, tarian saman, geudeu-geudeu, peulheih geulayang, atau pupok keubeu. Di kalangan orang Aceh, jika seseorang mampu mengajar silek (silat), atau tob dabouh (debus) maka masyarakat menggelarnya sebagai “kalipah”. Jika seseorang memimpin tari seudati atau saman orang menyebutnya sebagai “syeh”. Sebutan “kalipah” bukan karena ia ahli Tarekat. Gelar seseorang yang menguasai tarekat disebut “khalifah”. Hal yang sama juga dalam sebutan “syeh”, ia bukan ahli agama, tetapi ia hanya sebagai pimpinan tarian seudati atau Saman saja. Adapun gelar yang disangkutkan kepada guru agama karena ia memiliki kealiman maka disebut “Syech” (guru). Kedua gelar dan tabalan nama gelar ini saling berbeda. Di daerah Blangpidie dan wilayah Kuta Batee serta wilayah-wilayah lain di sekitarnya saat itu, orang banyak bergelar “syeh” dan “kalipah” karena ia ahli dalam bidang itu. Adapun orang yang ahli agama, misalnya, teungku yang alim atau seseorang yang mampu digelar “Syech atau Syeichuna” tidak seorangpun ada di wilayah keuleebalangan T. Ben Mahmud. Ka­re­na tidak ada teungku yang alim yang dapat mengajarkan secara mendalam masalah agama, maka oleh ulee balang me­minta ke pusat peme­rin­ta­han di Kutaraja untuk men­da­tang­kan teung­­ku yang alim ke wi­la­yah Blangpidie. Untuk me­menuhi kebutuhan itu, pada tahun 1921 dida­tang­kan­lah Teungku Muhammad Yunus yang lebih dikenal dengan sebutan Teungku Di Lhoong, seorang lulusan dayah di Aceh Besar yang sudah dinilai alim dan sangat zuhud.
Teungku Di Lhoong setelah datang ke Blangpidie ber­tem­pat tinggal di gampong Lam Siejiem (sekarang Geu­lum­pang Payong) dan bersama masyarakat men­di­rikan mu­shal­la sebagai tempat melaksanakan shalat berjamaah dan ju­ga Balai Pengajian. Sebelum itu di wi­layah Kuta Batee dan sekitarnya tidak dijumpai tem­pat-tempat mengajian yang seperti itu. Yang ada ha­nya rumah-rumah tempat diajarkan anak-anak mem­ba­ca al-quran, dan jika teungku punya kemampuan yang lebih, misalnya pernah belajar ke kampong lain yang ada teungku lebih alim seperti ke Peulumat, ma­ka dilanjutkan dengan belajar kitab-kitab tulisan arab jawo berupa kitab Perukunan atau kitab Masailal muh­tadi dan yang sejenisnya. Karena ulee balang me­lihat bahwa ma­sya­rakat harus mendapat ilmu agama yang baik dan bahwa sistem belajar agama seperti itu tidak memadai, maka perlu meminta ke Kutaraja un­tuk didatangkan guru yang dapat mengajar agama yang lebih mendalam dan lebih luas. Teuku Ben Mahmud dan kemudian dilanjutkan oleh Teuku Sabi se­ba­gai ulee balang saat itu sangat mengkhawatirkan bah­wa ji­ka Belanda telah bermarkas di daerahnya, maka masya­ra­kat harus segera di ajari ilmu agama yang ba­ik. Kalau tidak, beliau meng­khawatirkan bahwa adat kafir dan cara hidup kafir, akan segera diikuti bahkan agama kafir juga akan dianut. Ke­khawatiran inilah yang menyebabkan Teungku Di Lhoong didatangkan ke wilayah Blangpidie.
Karena Teungku Di Lhoong bertempat tinggal di Lam Siejiem, maka beliau jarang ke pusat kota di Blangpidie. Be­liau ke Blangpidie hanya pada hari Jumat untuk melak­sa­nakan shalat Jumat dan sekaligus menjadi khatib. Di mas­jid jamik hanya dilaksanakan shalat rawatib saja se­le­bih­nya tidak ada kegiatan.
Dipilihnya tempat tinggal Teungku Di lhoong di ­gam­pong Lam Siejiem setelah sampai ke Blangpidie, ka­rena  be­liau tidak suka bertempat tinggal ber­de­katan dengan bivak Belanda (masjid jamik terletak di pusat kota dan sangat berdekatan dengan bivak tem­pat tinggal marsose Belanda). Ketidaksukaan beliau terhadap Belanda sehingga tawaran untuk dibangun rumah oleh masyarakat di dekat masjid ditolaknya, sehingga beliau lebih suka memilih tinggal agak jauh dari pusat kota.
Sebelum Teungku Di Lhoong ditugaskan ke Blang­pidie, di daerah itu tidak dijumpai seorang teung­ku­pun yang tergolong alim dan dapat dijadikan ikutan dan panutan oleh masyarakat.
Setelah Teungku Di Lhoong diberhentikan dan diganti dengan Teungku Syech T. Mahmud, beliau me­mi­lih tempat tinggal berdekatan dengan masjid wa­lau­pun dekat dengan bivak marsose Belanda. Oleh ma­syarakat dibangun rumah  sekitar seratus meter dari masjid, dengan demikian aktifitas beliau dilaku­kan di masjid. Untuk mengoptimalkan pendidikan yang dilakukan untuk masyarakat Abu Teungku Syech T. mahmud membangun pesantren “Dayah Bus­tanul Huda”, dan dayah itupun berada di sekitar masjid.
Dayah Bustanul Huda merupakan satu-satunya da­yah yang sistem pengajarannya telah tertata dengan ba­ik di pantai barat-selatan aceh. Teungku-teungku ter­dahulu misalnya, yang ada di Peulumat atau di be­berapa tempat lain hanya mengajar di rumah atau di balai pengajian yang dibuat seperti meunasah. Akan tetapi setelah datangnya Abuya Syech T, Mahmud ke Blangpidie, untuk memenuhi kebutuhan belajar ma­sya­rakat dibangunlah pesantren yang diberi nama Bustanul Huda. Pesantren ini mengkom­binasikan pola pen­didikan yang berkembang di Aceh, misalnya, pola pen­didikan di Darul Ihsan Kreung Kalee atau di be­berapa tempat lain dengan pola pendidikan yang di­la­ku­kan di negeri Yan Malaysia. Karena itu, sistem pen­di­dikan yang dikembangkan Abu Teungku Syech T. Mahmud sangat disukai dan sangat banyak murid-murid yang ikut belajar. Anak-anak umur sekolah di wilayah Blang­pidie hampir seluruhnya ikut menjadi santri di Bustanul Huda, demikian juga santri-santri dari ber­ba­gai daerah lain di pantai barat-selatan aceh. Semula karena pola pendidikan agama yang dikem­bangkan abu Syech Mud (begitu beliau sering disapa) sangat disukai saat itu dan karena transportasi yang amat sulit, maka santri sebahagian besar hanya berasal dari daerah-daerah pantai barat selatan aceh. Banyak santri berasal dari Aceh Selatan dan Aceh Barat. Tetapi kemudian setelah transportasi lancar, maka berdatanganlah santri dari berbagai pelosok daerah. Pada tahun lima puluhan dan enampuluhan santri dari luar daerah sangat banyak belajar di Bustanul Huda. Ada yang berasal dari Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatra Selatan dan beberapa daerah lain. Dari Aceh hampir seluruh daerah ada santri yang be­la­jar. Setelah Bustanul Huda dibangun pada tahun 1928, banyak santri dididik did ayah itu dan berhasil menjadi ulama atau berkiprah di birokrasi atau berbagaibidang usaha lainnya. Alumni Bustanul Huda periode awal adalah Abuya Teungku Haji Muda Wali al-khalidy, Abuya Syech. H. Adnan Mahmud Bakongan, Abuya Syech H. Jailani Musa Kuta Fajar, Abuya Syech H. Abdul Hamid Kamal Blangpidie. Abu Teungku H. Syamsuddin Sangkalan, Abu Teungku H. Abdul Gaffar Lhokngan, Abu Teungku Ibrahim Woyla dan banyak ulama lain yang tidak disebut seluruhnya di sini yang tersebar di berbagai pelosok daerah Aceh maupun di berbagai daerah di luar Aceh. Begitu juga alumni Bustanul Huda yang bergerak dibirokrasi misalnya Ustaz Teungku H. Mahdi Muhammad, Teungku H. Ainul Ya’in, Teungku Saleh Kapha, dan masih banyak lain. Setelah tahun 1950-an banyakpula alumni yang bertugas di berbagai lembaga daerah baik di lembaga edukasi maupun birokrasi, misalnya Teungku H. Drs. Tarmizi Dahmi, Teungku H. Drs. Usman Nuris, dan masih banyak yang lain yang bertugas di berbagai bidang. Sebahagian besar anak-anak dan remaja Aceh selatan saat itu pernah belajar di Dayah Bustanul Huda.
Begitulah saat itu, sehingga sesungguhnya Abuya Teungku Syech T. Mahmud sangat besar jasanya dalam mengem­bang­kan pola pendidikan di pantai barat dan sela­tan aceh. Dan itu merupakan amal beliau sebagai ilmun yan tafa’u bihi…. Amin.

Beristerikan Cut Nyak Maryam
Teungku Syech T. Mahmud bin T. Ahmad  mem­peris­teri­kan Cut Nyak Mar­yam binti T. Mamad, anak Ulee Balang Lamlhom Lhoknga pada tahun 1928. Karena Cut Nyak Maryam saat itu masih kecil (sekitar 12 tahun), maka mereka tidak tinggal bersama. Teungku Syech T. Mahmud, be­rang­kat ke Blangpidie sedangkan istri beliau tetap tinggal di Lam Lhom Lhoknga. Pa­sangan ini memiliki tiga o­rang anak yaitu, seorang anak laki-laki lahir 1933, ke­mudian mening­gal dunia beberapa hari setelah dila­hir­kan. Selanjutnya lahir pula anak pe­rem­puan Cut Ridhwan Mahmud pada tahun 1935, dan Cut Asma­ni­dar pada tahun 1941.
Cut Nyak Maryam adalah anak ulee balang Lam Seukee Lam­­lhom Lhoknga. Ia lahir pada tahun 1918 di Lamlhom. Sejak kecil ia ti­dak mengecap pendidikan formal, tetapi walaupun demikian ia da­pat mem­baca dan menulis tulisan arab jawi dengan chad yang baik. Pen­didikan Cut Nyak Mar­yam ditempuhnya melalui pendidikan teungku gam­pongdi desa Lamlhom. Saat itu anak perempuan hanya belajar kitab agama dan tulisan arab jawi saja dan sangat jarang yang me­nem­puh pendidikan formal.
Pada usia 13 tahun diperisterikan oleh Tgk Syech T. Mah­mud yang saat itu telah tinggal di Blangpidie. Cut Nyak Mar­yam tidak langsung pindah ke Blangpidie tetapi tetap tinggal di Lhamlhom sampai tahun 1937. Selanjutnya ting­gal di Blangpidie sampai tahun 1986. Kemudian be­liau kembali menetap di Lamlhom dan meninggal serta dike­bu­mi­kan di Meunasah Manyang Lamlhom Lhoknga Aceh Be­sar pada ta­hun 2006.

                                                                Tgk. Cut Nyak Maryam
Abu Teungku Syech T. Mahmud ada­lah mer­­tua dari Tuengku Syech H. Abdul Hamid Kamal karena mem­­peristrikan Cut Ridhwan putri tertua Abu Teungku Syech T. Mahmud.
Abu Teungku Syech T. Mahmud wafat di Blangpidie pada 1 Ra­ma­dhan  1385 H atau tahun 1966 M dan dike­bu­mi­kan di depan ru­mah beliau di Blangpidie di bawah qu­bah yang dibuat ma­sya­rakat untuk beliau. Makam beliau sering dikunjungi oleh murid-murid beliau dari berbagai daerah, dan sering juga dikunjungi oleh orang-orang dari Malaysia yang mengenal beliau sebagai “Asy-syaikhuna Gurunya Para Ulama”. **

Penulis : Tgk. H. Ir. Silman Haridhy. Mudir’am Dayah Raudhatul Ulum, Tinggal di Blangpidie Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh..

Komentar

Postingan populer dari blog ini