BAGIAN KE TUJUH


Silman Haridhy
 BIOGRAFI
ABUYA SYECH H. ABDUL HAMID KAMAL
"Ulama Bersifat Diplomat"


Unit PerpustakaanYayasan AHKAM

DAYAH RAUDHATUL ULUM




I.            MEMBANGUN DAYAH MIMBARIAH

1.     Dimulai dengan mengajar Alquran
Setelah diantar oleh Abu Syech Mud, Teungku Abdul Ha­mid tinggal ber­sama masyarakat.Teungku yang tergolong ma­sih muda itu untuk semen­tara tinggal dirumah tokoh masyarakatTeungku Sida Maksae (?).Dirumah Teungku Sida ter­sebut teungku kita ini hanya tinggal beberapa hari saja dan itupun hanya pada malam hari.Jika siang lebih ba­nyak mengajar masyarakat di Mesjid Al-Mukhlisin, satu-satunya mes­jid jamik di kemukiman itu (sebuah masjid berukuran kecil terbuat dari kayu). Masyarakat da­tang kepada teungku kita itu un­tuk bertanya tentang agama dan me­ngaji.Mulai saat itu Teungku Abdul Hamid Kamal disibukkan dengan mengajarkan masyarakat.
Pada awal kedatangannya di tahun 1947, ham­pir se­luruh kegi­at­an pengajaran agama ditanganinya sen­diri. Mengajar Al-quran untuk anak-anak misalnya, mu­lai dila­kukan pengajaran dengan mengambil tem­pat di mesjid. Mula-mula beberapa orang anak-anak datang untuk dia­jarkan baca Al-Quran, kemudian da­tang pula kelompok a­nak lainnya secara bergiliran. Dalam waktu yang tidak lama anak-anak yang be­la­jar al quran (sesungguhnya bukan saja anak-anak tetapi  pemuda dan orang dewasa juga ada), ma­kin ber­tambah banyak. Keadaan itu tentu saja sudah tidak ter­tangani lagi. Di kemukiman tersebut tentu saja ada teungku lain yang paham mengajar alquran, tetapi anak-anak lebih suka untuk datang ke mesjid untuk  be­lajar kepada teungku yang baru datang ke kampung me­reka. Untuk mengatasi hal tersebut Teungku Abdul Hamid mengajak teungku yang ada untuk membantu mengajar alqur­an. Mulai saat itu banyak anak-anak dan pemuda yang datang ke mes­jid untuk mengikuti kegiatan belajar.

2.     Pengajian masyarakat
Berkaitan dengan dibukanya pendidikan untuk a­nak-anak, di­buka pula pengajian untuk orang dewasa. Penga­jian tersebut dila­ku­kan dalam bentuk “kuliyah”.Artinya, teungku memegang kitab ter­ten­tu sedangkan hadirin men­dengar penjelasan dari teungku. Setelah pe­nga­jian Al-Quran untuk anak-anak sudah ada guru yang tangani, maka pe­ngajian untuk orang dewasa da­lam bentuk kuliyah itu di­lakukan oleh Teungku Abdul Ha­­­mid dan mengambil jadwal pa­da waktu setelah sha­­lat Ashar dan malam hari setelah Isya.
Pada jadwal tersebut banyak masyarakat da­tang untuk men­de­ngarkan kajian tentang ilmu tau­hit,fiqih, akhlak, dan tashauf. Pe­nga­jian yang dilakukan itu telah menarik minat masyarakat bukan hanya ka­um pria tetapi juga wanita. Maka untuk memenuhi pe­­ngajian untuk kaum ibu, dibuka pula jadwal pagi ha­ri sekitar pukul 09.00 – 10.30 pagi. Pengajian seperti itu berlangsung secara terus menerus bertahun-tahun kemudian.

3.     Membangun Dayah
KedatanganTeungku Abdul Hamid dan telah mem­buka pe­ngajian agama di mesjid Al-Mukhlisin Krueng Batee telah menyebar dalam masyarakat di kemukiman itu. Untuk dimaklumi, kemukiman Krueng Batee pada awalnya terdiri dari 4 desa yaitu desa Krueng Bate, Alue Pisang, Lhok Ga­jah, dan Ie Mameh. Untuk di­mak­lumi saat itu banyak gam­pong masih sangat terisolir. Gampong Lhokgajah misalnya, walaupun terisolir dan sangat tertinggal, tetapi masih ada jalan seta­pak yang digunakan sebagai penghubung antara gampong itu de­ngan gampong lain misalnya gampong Krueng Ba­tee. Tetapi yang lebih sa­ngat terisolir lagi saat itu ada­lah gampong Ie Mameh. Gampong itu ter­letak su­dah sangat udik, tidak pula ada jalan penghubung karena di­ba­tasi oleh aliran sungai Krueng Batee yang saat itu tergolong dalam dan sangat deras. Selanjutnya 4 desa dalam kemukiman tersebut ke­mu­dian setelah tahun 60-an desa Krueng Bate dimekarkan menjadi dua desa yaitu desa Krueng Bate dan desa Ingin Jaya.Kemu­ki­man Krueng Batee terletak dalam kecamatan Kuala Batee dan letak kemu­kiman itu berbatasan langsung dengan kecamatan Blang­pidie. Masyarakat dari desa yang berdekatan ber­bondong-bondong datang bela­jar. Beliau menerima kunjungan ma­sya­ra­kat itu di mes­jid. Maka sangat sering terjadi bahwa mesjid men­jadi tidak pernah kosong dari masyarakat dan sering pula masyarakat terutama kaum ibu membawa anak-anaknya yang masih bayi sehingga sangat sering pula mesjid menjadi kotor karena kencing bayi dan anak balita.
Hal lain yang dinilai sangat memberatkan bagi Tgk. Abdul Hamid adalah karena beliau belum memiliki tempat yang tetap untuk tem­pat tinggal, beliau tidak leluasa untuk beristirahat, terutama di­siang hari. Ka­re­na itu, tokoh-to­koh masyarakat dikeumukiman me­nga­jak masyarakat un­tuk membangun rumah tempat tinggal untuk be­liau. Ren­cana itu disampaikan kepada Tgk Abdul Hamid dan beliau me­min­ta agar jika di­ba­ngun tempat tinggal, beliau meng­harapkan yang de­kat dengan mesjid. Makanya, pada tahun 1948 rumah un­tuk tem­pat tinggal beliau dibangun masya­rakat yang letaknya di sebelah utara dan berbatasan de­ngan ling­kungan mesjid sekitar 30-40 meter saja dari mes­jid Mukhlisin.
Orang yang belajarpun terus bertambah. Pada pe­nga­jian ma­lam hari misalnya, karena penerangan jalan dan lampu tidak ada, apa lagi  desa-desa waktu itu ba­nyak di­tumbuhi pepohonan dengan jalan yang masih berupa jalan tikus serta suasana malan gelap gulita, ma­ka banyak orang yang tidur di mesjid. Untuk me­ngatasi hal tersebut, maka perlu dibangun dayah, se­hingga ada bangunan rangkang (bilik-bilik) yang dapat ditinggali oleh para santri.
Niat itu oleh Teungku Abdul Hamid disampaikan kepada pim­pi­nan kemu­kiman dan pimpinan desa serta tokoh ma­syarakat.Dan, keingi­nan tersebut men­da­pat dukungan yang sangat besar dari masyarakat ke­mukiman Krueng Ba­tee. Pada hari Jumat 4 Rabiul Awal 1369 H atau tahun 1948 M sebelum khutbah Jumat dimulai, rencana pemben­tukan dayah itu di­sam­paikan di Mimbar dansekaligus seca­ra spontan  di­beri nama dayah itu dengan “Dayah Mim­­bariyah”. Dayah tersebut sampai saat ini masih ber­jalan.
Mulai saat itu terbangunlah Dayah Mimbariyah dengan me­ngi­ku­ti jejak Teungku Syech Mud di Blang­pidie yang mem­bangun Dayah Bustanul Huda di se­kitar mesjid jamik, maka Teungku AbdulHamid juga mem­bangun Dayah Mimbariyah dengan mengambil lokasi di sekitar mesjid jamik pula.

4.     Mencetak Teungku dan Ulama
Sejak telah dibangunnya Dayah Mimbariyah, sistem pe­ngajar­an yang dilakukanpun telah mulai teratur.Ma­sya­rakat mulai mem­bangun rangkang dan balai drah.Pertama dibangun enam rangkang untuk santri dan satu balai drah tempat santri belajar.Pada awal­nya, rangkang-rangkang itu praktis digunakan hanya untuk tempat tidur pada ma­lam hari saja, sedangkan siang hari para santri pulang ke rumah masing-masing.Anak-anak yang dulunya belajar pada malam hari dan tidurnya di mesjid, sekarang setelah adanya rangkang (bilik asrama) dan balai drah, mereka belajar di balai drah dan tidur di rangkang.Umum­nya setiap rangkang diisi untuk tidur antara 6 sampai 10 orang santri, siang hari me­re­ka pulang ke rumah masing-masing.
Pada awalnya santri hanya dari anak-anak berasal dari  desa sekitar saja. Karena anak-anak yang belajar makin ha­ri jumlahnya te­rus bertambah, maka oleh orang tua santri membangun pula rang­kang-rangkang baru sehingga peka­rangan sekitar mesjid penuh de­ngan rangkang dan balai drah. Santri yang semula be­la­jar alquran, selanjutnya di­ajarkan pula kitab-kitab arab.
Informasi bahwa ada Dayah baru dibuka di ke­mu­ki­man Krueng Batee dengan cepat tersebar luas.Seiring dengan itu, berda­tangan­lah santri-santri dari berbagai daerah, terutama dari daerah Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Utara dan Aceh Besar.Saat itu kuri­ku­lum pelajarannyapun bukan lagi sederhana tetapi sudah komplek. Bagi yang belajar alquran dan kitab-kitab da­sar berbahasa jawi, telah mengambil jadwal secara khusus dan ditunjuk seorang teung­ku seu­meu­beit. Begitu pula bagi santri yang telah be­lajar kitab arab dasar misalnya kitab jarumiah, kitab tashrif dasar, dan lain-lain, memiliki pula teungku dan kelas ter­sendiri. Adapun santri yang belajar lebih tinggi akan di­ajarkan sendiri oleh pimpinan dayah. Sistem pendidikan se­per­ti itu mengadopsiapa yang diterapkan Abu Syech Mud di Bustanul Huda.
Dayah Mimbariyah mendidik santri secara intensif mulai ta­hun 1948 sampai 1964. Selama kurun waktu itu banyak ulama telah dikeluarkan. Beberapa alumni yang dapat dikemukan adalah Teungku H. Abdul Ha­mid Samalanga, Teungku H. Basyah Teunom, Tgk. Ubaidillah di Aceh Barat, Tgk. M. Ali Mal di Aceh Tengah, Tgk. Basri di Kota Pajar, Tgk. Amiruddin di Pasi Lembang dan ba­nyak  lainnya lagi. Banyak alumni dayah Mimba­ri­yah men­jadi teungku di desanya, bahkan banyak pula yang menjadi pemimpin negeri. Setelah tahun 1964,ka­rena dayah Mimbariyah tidak mampu lagi me­nam­pung santri yang datang dari berbagai daerah di Aceh dan luar Aceh maka Teungku H. Abdul Hamid mem­bu­ka pula Dayah baru yang lokasinya lebih luas dan ber­ja­rak sekitar satu kilometer dari Mimbariyah, dan dayah baru itu diberi nama “Dayah Raudhatul Ulum”.


                                                        Abuya Syech H. Abdul Hamid Kamal
                                       Abu Syech H. Abd. Hamid Kamal dan Ummi Cut Ridhwan Mahmud

Suplemen

Memperbaiki Kurikulum dan Motodologi Dayah
Pada tahun 1964 Dayah Mimbariyah di samping mas­jid Mukhlisin Krueng Batee sudah tidak mampu me­nampung santri yang datang dari berbagai daerah.  Dayah Mim­ba­riyah segera dikembangkan dengan mem­buka  Dayah Rau­dhatul Ulum di desa Alue Pisang merupakan desa berse­be­lahan dengan Krueng Batee. Walaupun Dayah Mimbariyah tetap berjalan me­nga­jar­kan santri santrinya, tetapi Abuya di dayah Rau­dha­tul Ulum telah menata kurikulum dan me­to­dologi pe­ngajaran menjadi lebih sempurna. Ada banyak per­u­bahan yang dilakukan setelah dibukanya Dayah Rau­dha­tul Ulum. Perubahan paling utama adalah pada kelas (drah) menengah dan atas. Sistem pengarannya tidak ha­nya satu arah tetapi sudah dua arah malah santri lebih berperan aktif. Sistem pembelajaran santri harus mencari sendiri pengetahuan bahkan lebih ba­nyak memcahkan ma­salah hukum yang dijumpai seca­ra mandiri atau berke­lompok.
   Dalam menerima pelajaran dan pembahasan kitab, san­tritetap masih lesehan dan duduk melingkar, te­ta­pi ustaz ha­nya membahas materi matan kitab dan men­jelaskan mak­nanya. Selanjutnya, santri mem­ba­has secara luas da­lam bentuk diskusi sehingga materi tersebut bisa dija­barkan dalam bentuk praktek nyata.
   Di dayah juga dimantapkan tentang kaedah bahasa se­bagai alat yang digunakan untuk menarik hukum dari Al-quran, hadis dan kitab-kitab fiqh utama. Pe­man­tapan nahu-sharaf diajarkan secara detil sehingga pa­ra santri dapat memahami kaedah bahasa Arab (bahasa al-quran) secara benar.
   Setelah dibuka dayah Raudhah, abuya mulai mem­­per­­baiki metodologi pengajaran dan mem­per­tajam kurikulum sehingga setiap tingkatan (kelas) santri be­lajar dengan ma­teri yang sesuai. Umumnya, di dayah un­tuk materi da­sar diajarkan kitab Jaru­miy­yah, dilan­jut­kan pada kelas beri­kutnya Mukhtashar, dan se­te­rus­nya Bajuri, I aanah ath­thalibin, Mahalli dstnya. Un­tuk mempertajam analisa dibuka pula mu­za­karah dan belajar dakwah melalui pidato. Setiap tahun telah di­adakan ujian kenaikan kelas/tingkat. Di kelas dasar dan menengah melalui ujian tertulis, te­ta­pi dikelas yang lebih tinggi lebih banyak ujiannya me­lalui me­nyelesaikan masalah baik dalam bentuk nahu sharaf maupun dalam bentuk hukum, analisa hadis dan pem­bahasan al-quran. Inilah yang dilakukan abu­ya setelah mem­buka  Dayah Raudhah.
   Pada tahun 1974 muncul ide dari beberapa pim­pi­nan dayah di Banda Aceh (?) untuk menyatukan kuri­ku­lum dayah dan menghimpun dayah dalam satu or­ga­nisasi. Abuya merupakan salah satu pimpinan dayah  yang sejak awal mendukungprogram tersebut, dan ikut pula dalam membahas metodologi, kurikulum dan organisasi yang menghimpun dayah. Setelah be­be­rapa kali rapat di Banda Aceh dibentuklah Orga­ni­sa­si Insgafuddin, yaitu organisasi yang merupakan induk perhimpunan dayah di Aceh. Melalui iInshafuddin pu­la dibuat kurikulum yang baku sehingga semua dayah dapat menerapkannya. Penerapan kurikulum baku itu­lah sehingga diakuinya oleh berbagai lembaga res­mi pemerintah bahwa lulusan dayah setara dengan pendidikan lain. Sejak itu, banyak santri dayah setelah menamatkan pelajaran di tingkat aliyah di dayah se­te­rus­nya melanjutkanpendidikan ke IAIN (sekarang UIN) baik di Aceh maupun diluar Aceh. Bahkan tidak sedikit pula lulusan santri Dayah melanjutkan pendidikannya ke Madi­nah, Mekkah dan Mesir atau ke berabagai ne­ga­ra Arab lainnya..
   Untukmewujudkan perubahan metodologi dan kuri­ku­lum dayah, abuya membuka balai drah a’la yang sa­at itu dibangun  dikaki bukit. Balai drah itu diren­ca­na­kan seba­gai kelas santri tinggi yang mendiskusikan hu­kum dan mem­bahas perubahan-perubahan yang ter­ja­di. Tetapi sayang keinginan itu tidak dapat dite­rap­kan seluruhnya ka­rena kesehatan abuya di akhir tahun 1970-an menurun drastis.
   Demikianlah, pikiran abuya terus jalan untuk mem­per­baiki berbagai hal. Dalam banyak hal abuya sangat intens memperbaiki akhlak manusia, menjaga per­sau­da­raan dan silaturrahmi dan memperbaiki system pe­ngelolaan dayah  baik dalam bentuk kurikulum, meto­do­logi dan mening­kat­kan peran santri dalam banyak hal.
   Peningkatan peran santri tersebut, abuya lebih ba­nyak mengadopsi apa yang telah dilakukan oleh Abu Syech T. Mahmud, Syechul a’la beliau di Bustanul Hu­da. Beliau sering menugaskan santri senior untuk meng­gantikan be­liau dalam berbagai hal terutama yang berhubungan dengan aktivitas kemasyarakatan. Pola alokasi kegiatan itu merupakan salah satu cara pendidikan system andragogy sehingga santri mampu akan diberikan tanggung jawab sehingga mereka saat kembali ke masyarakat ia sudah siap baik fisik maupun psikist. Dan itulah pola pendidikan dayah yang sampai hari ini tetap diterapkan. (**)

  

                           Pengajian kitab kuning hari Sabtu di Blangpidie




Komentar

Postingan populer dari blog ini