BAGIAN KE TIGA BELAS:
PENANGANAN DAYAH RAUDHATUL ULUM
1. Silih
berganti
Sejak
Abuya wafat sampai satu tahun kemudian proses ajar mengajar di Dayah Raudhatul
Ulum tetap berjalan seperti biasa. Akan tetapi pembelajaran melalui tatap
muka antara seluruh santri dengan Abuya yang telah rutin dilakukan setiap
malam Rabu tidak ada lagi, dan demikian juga santri senior yang belajarnya
langsung kepada Abuya menjadi terhenti. Masalah santri senior ini merupakan
masalah besar yang dihadapi Dayah Raudhatul Ulum saat itu. Santri senior
bagaimanapun harus belajar dan harus mendapatkan ilmu yang cukup. Mereka
tidak mungkin pembelajarannya
terhenti tanpa mendapat ijazah dari lembaga Dayah. Umumnya, dalam kalangan
Dayah tradisional di Aceh penyampaian ijazah dilakukan oleh Abuya sebagai
pimpinan Dayah. Ijazah akan dikeluarkan setelah yang bersangkutan diuji dan
dilakukan penilaian secara seksama. Umumnya santri yang telah diberi ijazah
akhir tersebut, telah dinilai kemampuannya sehingga mereka dapat membuka
Dayah pula di daerahnya. Santri seperti inilah biasanya akan menjadi ulama
di daerahnya.
Santri-santri
senior tersebut tidak mungkin bertahan dalam waktu yang lama tanpa ada tempat
untuk menambah ilmu pengeta-huan. Oleh karena itu, mereka pindah ke Dayah
lain. Dan, inilah pro-blem besar yang dihadapi Dayah Raudhatul Ulum.
Jamak diketahui bahwa sistem pengajaran di lembaga
Dayah di Aceh, santri-santri senior mengajar pula santri di bawahnya, sehing-ga
seluruh santri senior yang dianggap mampu mengambil “drah” (kelas) untuk
mengajarkan santri-santri di bawahnya. Sistem ini memberi keuntungan yang besar
bagi santri senior itu sendiri. Melalui mengajar tersebut sesungguhnya merupakan
ajang pemantapan pengetahuan yang dimiliki. Makin intensif ia mengajar makin
mendalam ilmu yang dimiliki. Dan, sistem pendidikan seperti inilah
menghasilkan lulusan yang mampu mengajar dengan baik dan sekaligus menjadi
ulama.
Untuk
menghindari stagnasi sistem pengajaran di dayah Rau-dhatul Ulum, pimpinan umum
dan pengurus Dayah segera mencari guru yang mampu mengajarkan santri senior
dan memimpin sistem pengajaran. Untuk itu Teungku Zoel Helmi Haridhy, Teungku
Silman Haridhy dan Teungku Musfiari Haridhy sebagai pewaris Dayah Raudhatul
Ulum menggelar Rapat dengan tokoh-tokoh masyarakat untuk mencari te-naga
pengajar Dayah Raudhatul Ulum. Banyak nama diusulkan oleh berbagai pihak,
dan rapat memutuskan untuk menetapkan Teungku
Baihaqi Daud sebagai pimpinan dewan guru Dayah. Teungku Baihaqi Daud saat
itu masih berada di Singkil. Pada bulan Maret 1983 ditugaskan Teungku Baihaqi
Daud sebagai pimpinan dewan guru di dayah tersebut. Teungku Baihaqi Daud bertugas
di Dayah Raudhatul Ulum sampai tahun 1988. Selanjutnya pimpinan dewan guru
ditugaskan pula Teungku Thaharudin
Bahar. Selama kepemimpinan Teungku Thaharuddin Dayah Rauhatul Ulum mengalami
beberapa hal. Terjadi kemajuan sistem pengajaran sehingga bertambahnya santri
dengan datangnya santri dalam jumlah yang cukup memadai dari berbagai penjuru
daerah. Di samping itu ju-ga, karena kepemimpinan beliau relatif eksklusif
maka sering terjadi konflik dengan berbagai pihak. Konflik internal terjadi
dengan mantan Teungku pimpinan dewan guru Raudhatul ulum. Konflik ini dinilai
cen-derung mengarah ke konflik pribadi dan mengarah kepada kepen-tingan politik
dan pengaruh. Kedaan ini segera harus diatasi, walupun tidak mudah karena keadaan
ketidakpaduan antar kelompok tersebut terus terjadi dalam waktu yang cukup
lama. Konflik yang terjadi ter-sebut akhirnya secara lambat laun meredup.
2.
Masalah besar
Sebagaimana
telah diuraikan pada bahagian terdahulu, dayah Raudhatul Ulum merupakan
pecahan dan kelanjutan dari Dayah Mim-bariyah. Dayah Raudhatul Ulum dan Dayah
Mimbariyah hanya berja-rak sekitar satu kilometer. Antara kedua lembaga
pendidikan ini sepe-ninggal Abuya masing-masing dijalankan oleh dewan guru
secara ter-pisah, walaupun demikian, antara kedua dayah ini dewan gurunya sa-ling
membantu. Setelah dayah Raudhatul Ulum
berkembang pesat, maka relatif mengarahkan santri untuk mendalami kitab-kitab
sala-fiah, sedangkan dayah Mimbariyah cenderung diarahkan untuk me-ngajarkan
alquran kepada anak-anak (makhraj
dan tajwij) dan me-ngajar kitab-kitab
rendah seperti jarumiyah, matanbina dan mukhtasar serta kitab-kitab fiqih
dasar. Satu hal yang dikembangkan di da-yah Mimbariyah adalah membuka
pengajian rutin kepada masyarakat dengan mengambil kitab telaahan berbahasa
jawo/bahasa arab jawi. Pola ini memang dikembangkan oleh Abuya Syech H. Abdul
Hamid Kamal. Murid-murid lepasan dayah Mimbariyah melanjutkan pendidikannya
ke Dayah Raudhatul Ulum. Ringkasnya, Mimbariyah mengembangkan pendidikan
kelas ibtidaiyah di samping kelas yang dibuka un-tuk masyarakat, sedangkan
Dayah Raudhatul Ulum walaupun tetap membuka juga kelas Ibtidaiyah akan tetapi
lebih cenderung difokus-kan pada kelas
tsanawiyah dan aliayah.
Selama
kurun waktu 1996 sampai 2003, sesungguhnya sistem pengajaran di dayah
tersebut sudah berjalan dengan baik. Pembangu-nan berbagai seranapun
berlangsung. Jika dulu dayah ini hanya me-nampung santri pria, tetapi dalam
kurun waktu itu juga dibuka kelas untuk santri putri dan telah dibangun
asrama khusus pula untuk santri putri. Pada masa itu pula telah dibuka program
“Suluk” yaitu pelaksanaan ibadah secara khusus dan mengarah ke tasauf. Program suluk tersebut di dayah Raudhatul
ulum dibuka untuk 10, 30, dan 40 hari yang diikuti oleh peserta dari berbagai
daerah baik di Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Nagan Raya dan Aceh Barat. Untuk
memberikan kenyamanan pelakssanaan program ibadah tersebut telah dibangun
pula asrama khusus, sehingga pelaksanaan ibadah ini tidak terganggu dengan pelaksanaan
pendidikan dan kegiatan santri atau sebaliknya.
Akan
tetapi dalam kepesatan pelaksanaan pendidikan dayah Raudhatul ulum, muncul
masalah lain yang tergolong “sangat berat” saat itu, yaitu Teungku Thaharuddin
sebagai pimpinan dewan guru ikut berpolitik praktis. Tanpa pembicaraan dan
pemberitahuan dengan pimpinan umum dayah dan pengurus dayah Raudhatul Ulum,
Teungku Thaharuddin yang lebih dikenal dengan panggilan Abu Thaha terlibat
secara tidak langsung dengan perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Walaupun
pihak ABRI/TNI dan kepolisian telah mencurigai Abu Thaha terlibat sejak lama,
karena beliau ada di dalam komplek Dayah Raudhatul Ulum, maka beliau tidak
digrebeg dan tidak diambil. Menurut
catatan pihak keamanan selama kurun waktu 2002 sampai dengan 2003, Abu thaha
banyak melakukan kegiatan yang terkait dengan kegiatan gerakan perjuangan dan banyak menampung
berbagai pihak untuk menginap dan melakukan kegiatan di dalam dayah. Akumulasi
kegiatan tersebut telah menjadi “cacatan merah” bagi aparat keamanan dan
suatu saat ke depan akan diambil tindakan tegas.
Saat
itupun tiba. Pemerintahan Megawati mencanangkan Darurat Militer di Aceh.
Untuk Aceh telah terjadi penambahan kekuatan tempur dan kepolisian secara significant,
sehingga aparat TNI dan aparat polisi dilakukan penambahan secara cukup besar.
Beberapa hari setelah penerapan Darurat Meliter di Aceh, Abu Thahapun ditangkap
dan diproses hukum di Tapak Tuan, sedangkan seluruh santri Dayah Raudhatul
Ulum dilakukan pembinaan dan dipusatkan di lapangan Persada Blangpidie (sebuah
lapangan bola yang terletak di kota Blangpidie). Mulai saat itulah aktifitas
ajar mengajar terhenti kembali di Dayah Raudhatul Ulum. Terhentinya kegiatan
ajar mengajar dayah Raudhatul Ulum kali ini benar-benar berada pada titik
kulminasi. Keadaan tersebut menyebabkan dayah Raudhatul Ulum berada dalam
keadaan “pingsan” bahkan lebih berat lagi yaitu “koma”. Santri yang dulunya
belajar di dayah Raudhatul Ulum setelah selesai pemusatan dan pembinaan mereka
dipulangkan dan harus kembali ke daerah asalnya masing-masing. Tinggallah
Dayah Raudhatul ulum sendiri dalam keadaan kosong, sunyi dan sepi. Dan,
setelah saat itulah seluruh fasilitas yang dimiliki lenyap, bangunan asrama
santri rusak bahkan ada yang ambruk. Beberapa pompa air, alat pengeras suara,
jaringan listrik, dan berbagai fasilitas lainnya lenyap. Penyebabnya ...... wallahu a’lam.
Setelah
era itu, dayah Raudhatul Ulum kembali lagi ke bentuk Nol, tidak memiliki
apa-apa lagi. Yang ada hanya satu buah mesjid sudah retak-retak (menunggu
ambruk), sederet asrama putra dalam keadaan rusak berat dan compang camping
“ruya ruyo” serta beberapa ruang sekolah yang keadaannya ...... masya Allah.
Selebihnya .......... wallahu a’lam. Akibatnya, dayah Raudhatul Ulum terjadi
kefakuman yang cukup lama. Tidak kurang terjadi kefakuman selama 4 tahun (akhir 2003 sampai 2007). Kefakuman
tersebut menyebabkan komplek Dayah Raudhatul Ulum hampir kembali lagi ke
keadaan Suak Dugo. Seluruh lokasi sudah mulai tergenang air karena drainase
tersumbat, dan batang gelagah sudah mulai tumbuh kembali.
3.
Era baru
Memang
tidak mudah untuk mengelola kembali Dayah Raudhatul Ulum yang sudah “ruya
ruyo” seperti itu. Penyebabnya karena masalahnya tergolong masalah “besar”
saat itu yang tidak mungkin ditangani secara cepat. Menyelesaikan persoalan
ini sama artinya seperti menarik rambut di dalam tepung, malah lebih berat
dari itu seperti “menarik rambut dari halua”. Rambut dapat ditarik dan tidak
putus, halua tidak tercemar. Begitulah payahnya menangani dayah Raudhatul Ulum
saat itu. Masalah lain yang muncul kemudian adalah timbulnya sanggahan dari
pihak tertentu yang menyatakan diri orang berjuang bahwa Raudhatul ulum jangan
pernah diubah ke dalam bentuk lain, ke dalam ”pesantren terpadu”. Masalah yang
muncul kemudian itu lebih cenderung tidak ada beralasan, malah lebih
cenderung sebagai asal bunyi tanpa fakta dan kenyataan. Pasalnya, yang dipermasalahkan
pesantren terpadu, tetapi anehnya apa yang dimaksud pesantren terpadu itu
mereka tidak paham. Cara pemikiran seperti
ini tergolong aneh bin ajaib.
Tanggapan
yang muncul itu terjadi setelah Aceh telah damai, setelah penandatanganan MOU
Helsinki. Kenyataannya damai di satu sisi, tetapi tanggapan-tanggapan “klo
prit” seolah-olah masih dalam konflik berada pada sisi lain. Barangkali cara
yang paling pas menggambarkan keadaan tersebut seperti ”Hana deungo tut”, seperti itulah. Setelah diteliti bahwa yang
menyanggah tidak paham sejarah Raudhatul Ulum, bahkan lebih parah lagi tidak
paham terhadap pemiliknya.
Pihak
pimpinan dayah dan pengurus berkali-kali membuat rapat untuk menjelaskan
kepada berbagai pihak tentang ingin membuka kembali Dayah Raudhatul Ulum. Walaupun
sebenarnya tanpa memberi tahu kepada siapapun setelah Aceh damai Dayah itu
dapat segera dibuka, tetapi untuk menjaga etika dan kebiasaan yang dilakukan
oleh Abuya Syech H. Abdul Hamid Kamal, maka berbagai rapat dilaksanakan.
Akhirnya setelah mendapat dukungan dari berbagai pihak walaupun masih dihambat
oleh pihak yang menyatakan dirinya orang perjuangan, Dayah Raudhatul ulum
kembali dibuka. Langkah pertama dengan melakukan gotong royong yang diikuti
oleh berbagai pihak dari berbagai desa yang ada. Dan tanpa menghiraukan
sanggahan dari pihak-pihak tertentu, Dayah Raudhatul Ulum dibuka kembali
pada tanggal 15 Syawaal 1427 H atau 5
Agustus 2006 M.
Pembukaan
kembali Dayah Raudhatul Ulum merupakan “era baru” pengembangan dayah. Memang
harus diakui bahwa membuka kembali dayah yang dalam posisi pingsan malahan
lebih berat lagi dalam keadaan “koma” memang sulit. Bukan hanya menata ulang
tentang penanganan lembaga tetapi juga mendapat hambatan dari pihak-pihak
tertentu yang tidak paham sejarah dayah dan kepemilikannya maupun
keterbatasan dana yang harus diadakan sehingga dayah dapat berfungsi kembali.
Memahami hal itu, dayah Raudhatul Ulum dilakukan penanganan secara bertahap.
Memang ada terkesan “pelan” dalam membangun kembali, tetapi dalam
keterbatasan tersebut pimpinan dan pengurus berniat Dayah Raudhatul Ulum
tetap menjadi lembaga mencerdaskan kehidupan masyarakat baik dari segi
pengetahuan keagamaan Islam, maupun keahlian dalam bidang lainnya sebagaimana
yang diwasiatkan oleh Abuya Syech H. Abdul Hamid Kamal. **
\
Kantor Dayah
Raudhatul Ulum
Sangat Berbaik Sangka
Abuya dalam hidupnya sangat mengedepankan
berbaik sangka kepada siapapun, dan selalu mengedepankan pelayanan
kepada setiap tamu-tamu yang datang. Dulu di Blangpidie tidak banyak tersedia
rumah penginapan atau rumah tumpangan yang dapat digunakan oleh musafir menginap.
Rumah penginapan yang ada berupa Hotel
Muslim yang terbuat dari ruko kayu lantai dua yang hanya tersedia beberapa
kamar saja. Disamping itu ada satu lagi Hotel Diana yang kondisinya mirip
sama juga.
Saat
itu, masyarakat kita belum terbiasa untuk mencari rumah penginapan jika sedang
dalam perjalanan, tetapi biasa mencari saudara, kenalan atau kemana yang bisa
digunakan untuk menginap sambil menunggu untuk melanjutkan perjalanan ke
tujuan. Terkait dengan hal itu, abuya membuka pintu rumahnya menampung
musafir untuk beristirahat satu atau dua malam. Selama istirahat itu, para
tamu memasak sendiri apa yang ada dan beristirahat dengan memilih tempat
sendiri dimana yang mungkin. Begitulah. Tamu yang datang tidak ada diseleksi,
tidak ada diskrenivikasi, tidak ada ditanya ini-itu, tidak ada diperiksa
surat keterangan kelakuan baik, dan entah apa lagi. Biasanya, tamu yang datang
menyampaikan saja mereka dari mana dan
mau ke mana, setelah itu … ya … selesai. Mereka tinggal di rumah beliau,
berbaur dengan keluarga beliau sampai saat mereka melanjutkan perjalannya kembali.
Biasanya tamu beliau itu dari berbagai daerah di Aceh, ada murid beliau,
keluarga-kerabat dari murid atau berbagai pihak lain yang mengenal beliau.
Tidak jarang tamu beliau datang dari berbagai daerah lain, misalnya, tidak
jarang dari Mandailing, beberapa daerah lain di Sumatera Utara, dari Jawa,
Kalimantan dan Sulawesi. Mereka datang dan menginap di rumah belau sampai
beberapa waktu lamanya, sampai mereka melanjutkan perjalanannya. Biasanya
kalau tamu dari jauh untuk melanjutkan pendidikan ke Darussalam Labuhan Haji,
atau ke tempat lain, mereka singgah di Balangpidie. Banyak pula santri-santri
dari berbagai tempat yang singgah nginap di rumah beliau karena keperluan
tertentu di Blangpidie. Begitulah, abuya tidak curiga kepada tamunya, dan seluruh
tamu dilayani beliau dengan baik. Dan, alhamdulillah, tamu yang datang itu tak
satupun berbuat masalah terkecuali hanya satu orang itupun karena “meusyen”
dan kecintaan yang berlebih.
Pada
satu hari di bulan sya’ban datang tamu dari dari daerah yang jauh di pantai
barat Aceh. Saat itu, abuya tidak dirumah, karena sedang memberi kuliyah di
Kuta Tinggi sehingga sang tamu belum bertemu abuya. Subuh hari abuya langsung ke masjid Baitul Adhiem
yang hanya terletak diseberang jalan berhadapan dengan rumah beliau. Sang
tamupun ikut ke masjid dan duduk di shaf pertama relative dekat dengan abuya.
Setelah shalat, abuya wirid bersama jamaah. Sang tamu karena belum ketemu
abuya sejak semalam kesempatan itu dimanfaatkan untuk merangkul dan memeluk
abuya. Para jamaah di masjid jadi heboh. Ada beberapa jamaah laki-laki yang memiting
dan akan memukul tamu tersebut, tetapi abuya melarangnya. Tamu didudukkan di
samping abuya. Kenapa ia merangkul dan memeluk abu saat sedang wirid, “karena ia mau ketemu abu sejak semalam tapi
tidak bersua, sekarang lagi dekat maka rindu kepada ulama dilepaskannya, hanya
itu saja” katanya. Setelah siang tamu tersebut melanjutkan perjalanannya menuju
Tapak Tuan dengan menggunakan “truk Drels”.
Baik sangka abuya bukan hanyakepada tamu
yang datang kerumah beliau, tetapi juga kepada siapa saja yang meminta
sesuatu. Banyak pula orang jika sempit meminta abuya membantu, dan jika abuya
punya, maka permintaan itu dipenuhi.
Mudahnya memenuhi permintaan umat itu
berliau beranggapan manusia pada dasarnya memiliki prilaku baik. Allah
memberikan kepada manusia fitrah kebiakan, suka membantu dan suka menolong.
Beliau sering berucap; “fitrah itu harus kita kedepankan dan mereka tidak
berkhianat. Jika berkhianat, maka fitrah ilahiyahnya sudah dibuang dan telah diganti dengan fitrah
syeithaniah, orang beginilah yang harus didakwahi agama sehingga ia kembali
lagi ke jalan yang betul”. Begitulah “husnudhon” selalu dikedepankan beliau,
dan menjauhkan “suudhon” dalam kehidupannya. (**)
Komentar
Posting Komentar